Jumat, 23 November 2012

Dengan Papaku

Papaku mabuk berat. Dia diantar teman kerjanya sampai ke rumah. Mama tengah keluar kota selama beberapa minggu. Kulihat papa sempoyongan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Temannya kewalahan menahan tubuh papa yang besar dan tegap. Di dalam kamar papa di baringkan terlentang. Teman papa membuka baju dan celananya agar leluasa bernafas. Aku memperhatikannya lewat pintu yang sedikit terbuka. Entah kenapa aku bernafasu melihat tubuh papaku. Aku mengaguminya.
Ku lihat teman papa membuka kaus dalam papa. Tangannya meraba-raba dada papa hingga ke bagian perut. Dengan perlahan aku memperhatikan dan mendekat ke arah pintu. Aku melihat teman papa mengelus-elus kemaluannya. Dan aku bisa melihat kalau barang papa saat ini dalam keadaan tegang. Jantungku mau copot rasanya. Seluruh persendianku melunglai. Aku kembali memperhatikan teman papaku yang mengelu-elus kemaluan papa. Lalu tangannya meraba di bagian bawah perut.Mengeluarkan isinya dari celana dalam. Jantungku semakin tidak menentu. Aku melihat kontol papaku yang mencuat tegang dengan rambut-rambut yang hitam lebat. Teman papa mendekatkan wajahnya ke arah kontol papa. Lalu menjilatinya dengan perlahan. Papa hanya menggeliat. Sontak saja kontolku menegang hebat.
Papaku masih mabuk. Tapi tangan teman papa tetap saja menggeranyangi kontol papa. Dia menghisap kontol papaku dengan antusias. Tangan kananya memegangi puting susu papa. Mataku tak berkedip melihat adegan itu. Teman papa membuka baju dan celana panjangnya.Mengeluarkan kontolnya dari dalam celana dalam. Luar biasa besar dan panjang. Dia kembali menjilati kontol papa sambil mengocok kontolnya.Papa hanya mendesah merasakan kenikmatan. Tanganku tak sabar ingin mengocok kontolku yang sedari tadi tegang. Tapi sayang pintu terayun terbuka karena angin. Aku terbelalak ketika teman papa melihatku. Dia tidak marah malam menyuruhku masuk. “masuk saja” katanya. Aku ragu melangkah. Setelah di dalam aku menutup pintu rapat-rapat. Mataku terus saja memperhatikan kontol papa yang masih mencuat tegang. “Sini.” Kata orang itu padaku. Aku mendekat. Dia tersenyum padaku dan menyudorkan kontol papa kepadaku. Keringat dingin mengucur di keningku. Tak pernah kubayangkan kalau aku menghisap kontol papaku sendiri.
Tanganku gemetar memegang kontol papa yang panjang dan besar. Baru kali ini aku memeganya. Membelai rambut-rambut hitam yang tumbuh di sekitar pangkal kontol papa. Perutnya juga berbulu.
“Ayo hisap.” Kata teman papa padaku. Aku masih ragu. Dengan perlahan lidahku menjulur melumat kontol papa yang luar biasa. Ooh…..nikmat sekali. Mulutku hampir koyak. Aku memperhatikan kontol papa yang menegang panjang. Urat-urat yang menyembul kelihatan. Ujung kontolnya berwarna kemerahan dengan bibir yang sangat sensual. Aku menjulurkan lidahku ke bibir kontol papa.
Teman papa membuka celanaku dan mengeluarkan kontolku yang mencuat tegang. Dia melumatnya dan menghisapnya dengan hangat.Ooo….uuupppss.ss….yeaaga,,,, Aku merasakan kenikmatan. Teman papa menghisap kontolku, aku menghisap kontol papa. Papa hanya mendesah tanpa sadar. Dia masih mabuk berat. Tangannya memegangi kepalaku dan terus memasukan kontolnya ke dalam mulutku. Aku berdiri dan mengarahkan kontolku ke mulut papa. Memasukannya dengan perlahan.Papa melumatnya dengan hangat. Papa menghisap kontolku dengan lembut.
Ah….oootpppsds….eemmm……
Teman papa mengarahkan kontolnya ke lobang dubur papa. Lalu memasukkannya dengan perlahan. Papa sedikit mengerang kesakitan.
“OUUPS…sakiiiit…ooh.,…terus…ya…aha…” Aku memperhatikan wajah papa yang tampan dan membuat aku mabuk kepayang. Papa terus saja menghisap kontolku. Aku ganti posisi enam sembilan. Papa menghisap kontolku dan aku menghisap kontol papa dari atas.
“oookkkkhhh…terus, Jack. Tusuk terus…aha…anikmat…mmmm” papa mendesah. Aku semakin bernafsu. Teman papa terus saja menusuk burit papa hingga papa memuncarkan mani kentalnya di dalam mulutku.
ccroooot…crooott…croocooot..
“Ahhh…..oooh…..”
Mani hangat berserak di pipi dan mulutku. Aku merasakan bau mani itu dengan nafsu. Kontolkupun terus saja dihisap papa hingga aku nembak di mulut papa.
Crooot…crooot……crooocoot….
Ahhhhhh………….emmmm………. papa menelan maniku. Teman papa mencabut kontolnya dan mengocoknya beberapa kali.
Croooottt…croooot………….
Permainan selesai. Aku beranjak dari kamar papa dan membersihkan sebagian mani papa yang menempel di pipiku. Oh….aku benar-benar puas.Puas sekali. Oh papaku. Andai saja kamu sadar kalau aku telah menghisap kontolmu dan menelan sebagian manimu.
@###@
Pagi hari papa bangun. Dia membangunkanku dari kamar tidur. Aku pura-pura tidak tahu dengan kejadian tadi malam. Papa memakai handuk. Aku masih melihat kontol papa yang menggantung di balik handuknya.
“Bangun, Hans. Sudah siang, kamu tidak ke kampus.” “Bentar lagi deh, pa.Masih ngantuk.” Jawabku sekenahnya. Papa keluar dari kamarku. Dan kini teman papa yang masuk. Dia menyapaku.
“Permainanmu luar biasa, Hans. Papamu merasa puas.” Katanya. Aku terkejut. Apakah papa benar-benar sadar dan merasakan itu?
“Tenang saja, papamu tidak tahu. Dia hanya merasakan kenikmatan air manimu yang masih perjaka. Aku Jack.”
“Tapi, om.” “Saya juga ingin merasakan manimu, Hans.” Jack mendekatiku. Dia duduk di samping ranjangku. Tangannya meraba selangkanganku. Dengan cepat kontolku menegang. Dia membuka celanaku dan menghisap kontolku. Tapi tiba-tiba saja papa masuk
“Hans…” sapa papa agak terkejut. “Jack, kamu apa-apaan?”
Jack menghentikan hisapannya.
“Ayolah bro..kamu juga maukan mani anakmu.” Kata Jack ke papa. Aku sedikit menutupi kontolku. Papa menutup pintu dan menghampiriku di ranjang. Tangannya membuka selimutku. Lalu mulutnya menghisap kontolku dengan sigap.
OOOOO….iiihh….aahaha…..hhhhkkkk……. nikmat sekali. Berbeda dengan yang tadi malam., Papa antusia sekali menghisap kontolku. Kontol papa menengang. Dia membuka handuknya dan mengocoknya.
Tak berapa lama mani kentalpun muncrat di mulut papa. Papa menghisapnya sampai habis. Dan aku menghisap kontol papa dengan kuat.Kurasakan air maninya muncrat di tenggorokanku. Aku menelannya tanpa rasa jijik. Papa puas dan tergolek di sampingku. Teman papa juga merasa puas.

Bapak Kostku Tercinta

Sore itu cuaca begitu buruk, langit tampak gelap dengan gerimis yang mulai turun. Aku sendiri bete banget di kost-kost-an, sepi. Pak Arman bapak kostku masih di kantor, ibu kost ngurusin bisnisnya di luar kota dan kedua anak ibu kost kuliah di Jakarta, itu pula yang mungkin menjadi alasan mereka mau 'menampung' aku, 'dari pada sepi'.
Yang kost di rumah ini memang hanya aku sendiri, jadi sudah seperti keluarga. Aku sendiri masih duduk di bangku SMA kelas 2. Tapi karena kebetulan jarak sekolahku lumayan jauh, aku disuruh kost. Pak Arman sendiri adalah kenalan Bapakku.
"Bi, masak apa hari ini..?" dari pada menganggur, kuhampiri Bi Onah di dapur.
"Eh, Den Anto, biasa Den.. gulai kambing kesukaannya Tuan Arman."
"Wiih asiik Anto juga suka! Apalagi kalo Bibi yang masak, hmm.. enggak ada duanya Bi!"
Si Bibi hanya tersenyum.
"Anto bantuin ya?"
"Aduh enggak usah, Den! Inikan kerjaannya cewek.."
"Kata siapa, Bi. Sekarang mah udah berubah, enggak ada lagi perbedaan kayak gitu. Buktinya direstoran-restoran terkenal kebanyakan tukang masaknya cowok!"
"Tapi, Den.."
"Udah, enggak apa-apa Bi, dari pada bengong. Sekarang mana yang bisa Anto bantu?"
Akhirnya si Bibi nyerah juga. Aku bantuin apa saja sebisaku, motong-motong daging, menggoreng bumbu, wah ternyata asyik juga.
"Ada koki baru, nih?" tiba-tiba terdengar suara berat di belakangku, aku menengok, ternyata Pak Arman.
"Eh, Bapak..!" aku jadi malu sendiri, "Dari pada bengong nih Pak, apalagi tadi bete banget!"
Pak Arman hanya tersenyum.
"Pakaian Bapak kok basah semua?"
"Tadi mobilnya mogok di tengah jalan, ya udah mau enggak mau kudu hujan-hujanan.."
Aku terus menatap tubuh Pak Arman. Dalam pakaian basah seperti itu jelas sekali terlihat bentuk tubuhnya. Di usia kepala empat, Pak Arman memang masih kelihatan gagah dan kekar. Aku sedikit berdesir melihat tonjolan besar di balik celananya.
"Mandi dulu Tuan, nanti masuk angin.." si Bibi tiba-tiba menyela dari belakang.
"Iya Pak, lagian Ibu lagi enggak ada, entar siapa yang ngerokin!"
"Kan ada kamu!" Pak Arman tertawa mendengar gurauanku, tetapi kemudian ia segera berlalu ke kamar mandi.
Tak lama terdengar suara guyuran air. Tiba-tiba aku membayangkan bagaimana keadaan Pak Arman waktu bugil, memikirkan itu kemaluanku langsung mengeras. Malam itu sama sekali aku tidak dapat tidur. Entah kenapa tubuh Pak Arman yang basah terus terbayang di mataku. Busyet! Kenapa jadi begini? Untung acara TV malam itu lumayan bagus, jadi aku dapat sedikit mengesampingkannya.
"Belum ngantuk, To?"
Aduh, suara itu lagi.
"Eh, belum Pak..!"
Aku sedikit gerogi ketika Pak Arman duduk di pinggirku, padahal dulu-dulu tidak seperti ini.
"Acaranya bagus?" Pak Arman menatapku, oh Tuhan matanya begitu teduh.
"Lumayan Pak, buat nyepetin mata yang enggak bisa di ajak kompromi.."
Sesaat suasana hening.
"Bapak juga kok enggak tidur..?" kucoba memecahkan suasana, "Kangen Ibu, ya?"
Pak Arman tersenyum.
"Saya sudah biasa di tinggal istri, To.."
"Sorry, Pak.."
Aku jadi merasa tidak enak sendiri.
Malam semakin larut dan udara makin terasa dingin, dan kami masih asyik nonton TV, walaupun pikiran saya tidak tertuju kesana.
"To, Kepala saya agak pusing.., mau enggak kamu pijitin kepala saya..?"
Aduh saya benar-benar tidak tahu harus berbuat seperti apa. Pak Arman terus menatapku.
"I.., iya Pak..!" ujarku sedikit gugup. Aku kemudian berdiri.
"Mau kemana?"
"Mijitin kepala Bapak.."
"Udah kamu duduk disitu aja.."
Tanganku ditariknya kembali ke kursi panjang.
Sungguh aku tak mengerti. Aku kemudian duduk kembali dan tiba-tiba Pak Arman merebahkan kepalanya di pangkuanku. Sungguh saat itu aku tidak dapat mengendalikan lagi denyut jantungku.
"Di sini, To.." Pak Arman memegang tanganku dan kemudian diletakkan di keningnya.
Untuk sesaat aku terpaku dan kemudian dengan sedikit gemetar memijat keningnya. Kulihat Pak Arman memejamkan matanya. Dengan takut dan ragu-ragu kuperhatikan wajahnya. Sungguh sangat sempurna. Alis yang rimbun, hidung yang bangir, kumis tebal dan kaku, dagu yang terbelah.., oh Tuhan aku nyaris tak dapat mengendalikan diri.
"Oh, Nikmat sekali, To.." Pak Arman mendesaah perlahan.
"Aku jadi ngantuk, boleh tidur disini dulu enggak? Entar kalau acaranya selesai, bangunkan ya!"
"Ya, Pak.."
Entah mimpi apa aku semalam bisa berduaan seperti ini dengan Pak Arman. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Tetapi kulihat Pak Arman tidak juga memejamkan matanya.
"Kenapa, Pak? Katanya mau tidur?"
Pak Arman terus menatapku, aku jadi salah tingkah.
"Aku teringat, Diko. Sudah 5 bulan aku tidak ketemu dengannya."
"Dia kan sedang kuliah, Pak.."
"Waktu kecil dia selalu kupangku seperti ini sambil kubelai rambutnya. Tak terasa anak-anak begitu cepat besar."
Kulihat mata Pak Arman menerawang.
"Waktu mereka masih ada, aku tak begitu merasa kesepian seperti sekarang, tapi ya begitulah tugas orang tua, memang cuma membesarkan dan mendidik anak, setelah itu.. Aku bersyukur ketika kemudian kamu kost disini, setidaknya rumah ini tidak begitu sepi lagi."
Aku begitu terharu mendengar kata-kata Pak Arman, begitu menyentuh. Dan tak terasa tanganku bukan lagi memijat, tapi telah membelai rambut Pak Arman. Pak Arman memejamkan matanya sepertinya ia menikmati semuanya.
"Semua orang tua mungkin pernah merasakan hal yang sama seperti Bapak.." aku mencoba menghibur, "Dan kalau Bapak mau, saya siap untuk menjadi teman bicara Bapak, kapan saja, asal Bapak tidak merasa kesepian.."
Pak Arman membuka matanya. Dipegangnya tanganku.
"Sungguh..?"
Aku menganggukan kepalaku. Pak Arman tersenyum, kemudian ia mencium tanganku.
"Thanks.." katanya manis.
Ya Tuhan, dadaku seakan mau meledak merasakan hangatnya bibir Pak Arman disertai gesekan kumisnya di tanganku. Aku bingung harus berbuat apa. Pak Arman tersenyum melihatku, kemudian ia meletakan tanganku di pipinya. Sejenak aku terpaku. Perlahan kemudian kubelai pipinya yang kasar. Pak Arman memejamkan matanya. Aku terus membelainya, merasakan jambangnya yang belum dicukur. Aku penasaran sekali dengan kumisnya.
"Kumis Bapak bagus.."
"Kamu suka..?"
"Ya, kelihatannya gagah.."
Dengan ragu kubelai kumis Pak Arman. Ia tetap diam seperti sedang menikmati semuanya. Bibirnya tampak sedikit merekah, begitu indah dan merangsang, serasi sekali dengan kumisnya yang tebal. Aku sudah tak dapat menahan diri lagi. Perlahan kubelai bibir itu dengan gemetar.
Sebenarnya aku takut dianggap tidak sopan, tapi kulihat Pak Arman tidak ada reaksi apa-apa. Aku semakin berani. Pak Arman kulihat semakin membuka bibirnya dan tanpa kuduga, tiba-tiba ia mencium jariku dan kemudian menghisapnya dengan perlahan. Aku begitu terpana. Matanya terbuka, ia tersenyum manis kemudian bangkit dari pangkuanku. Dipegangnya bahuku.
"Aku ingin tidur bersama kamu.."
Direbahkannya tubuhku di kursi yang sempit. Ia kemudian ikut tidur sambil memeluk tubuhku. Aku teramat merasakan kepadatan tubuhnya yang membuatku semakin nafsu. Ia membelai rambutku. Aku tatap matanya, ia tersenyum, didekatkan kepalanya dan tiba-tiba ia mencium bibirku. Lembuut sekali. Aku memejamkan mata meresapi sensasi yang begitu indah. Ketika kubuka mataku ia sedang menatap wajahku, kemudian dielusnya pipiku, alisku, bibirku, dan kemudian ia menciumku lagi lebih lama. Bibirnya terasa manis, kurasakan lidahnya menelusup di rongga mulutku. Aku merasakan nikmat yang amat sangat, apalagi kumisnya begitu kasar. Kucengkeram punggungnya dengan kuat, nafasku semakin memburu.
Pak Arman benar-benar ahli, aku yang baru pertama kali mengalaminya seperti orang meriang. Pak Arman tiba-tiba melepaskan ciumannya, ia menatapku dengan mesra.
"Kamu menyukainya, To..?"
Ya ampun.., kenapa dia harus bertanya seperti itu, sementara nafsuku semakin membuncah. Aku menganggukan kepala seraya membelai lehernya.
"Ini yang pertama, Pak.."
Aku mendekatkan lagi bibirku dan dengan ganas kembali kulumat bibir jantannya. Kutindih tubuhnya dengan nafsu.
"Jangan disini, To.."
Aku menghentikan aksiku. Pak Arman bangkit. Dimatikannya TV, kemudian ia mencium keningku sebelum membopongku ke kamarnya. Aku terpekik sejenak, tapi langsung kupeluk leher Pak Arman sambil kucium dadanya. Pak Arman tertawa kecil.
Sesampainya di kamar, dengan perlahan direbahkannya tubuhku. Sambil menindihku Pak Arman terus menatap mataku dengan mesra, aku sampai tersipu. Kupeluk tubuhnya sambil kugigit lehernya, Pak Arman sampai terpekik.
"Wah, kamu mirip drakula.." Pak Arman terus menggodaku.
"Tapi drakula amatir.." balasku.
Pak arman tersenyum. Dipijatnya hidungku.
"Nih kalau yang profesional!"
Tiba-tiba Pak Arman telah mencium leherku dengan gigitan-gigitan kecilnya. Aku terlonjak, geli tapi nikmat, apalagi kumisnya terasa sekali menusuk-nusuk leherku.
Aku mengerang sambil menjambak rambutnya. Aku benar-benar tak kuat. Kakiku langsung kubelitkan di tubuhnya sambil menggeliat-geliat dengan liar. Pak Arman semakin bernafsu. Kini ia telah membuka bajuku, dijilatinya dadaku. Aku menjerit, benar-benar sensasi baru yang teramat indah. Aku semakin mempererat pelukanku, apalagi saat Pak Arman mengulum puting susuku, tubuhku sampai melengkung menahan kenikmatannya.
"Pak Arman, oohh.."
Pak Arman seperti tidak perduli dengan keadaanku, ia semakin buas. Tak lama kemudian tubuhku telah telanjang bulat, dan ia benar-benar membuatku tak berkutik. Ketika ia membuka bajunya, aku benar-benar terpana melihat tubuhnya yang masih berotot dengan bulu-bulu yang membelukar, membuatku semakin tak kuat, apalagi saat ia membuka celana dalamnya, oh.., batang kejantanannya begitu besar dan kaku. Aku sampai ngeri sendiri.
Ia kembali menghampiriku dengan nafasnya yang memburu. Aku menyambutnya, kupeluk tubuhnya yang besar. Kubelai punggungnya sambil kuresapi ciumannya. Tangannya begitu nakal, dibelainya pahaku secara perlahan, dan kemudian bergeser ke arah batang kemaluanku yang tidak begitu besar. Aku pun tidak mau kalah, kuremas kejantanannya yang seperti pentungan hansip, Pak Arman mendesah. Aku kemudian melepaskan diri dari pelukannya. Kuciumi batang kejantanan yang begitu gagah, desahan Pak Arman makin keras. Di ujung kejantanannya yang hitam terlihat mulai keluar cairan bening, aku langsung menjilatinya, terasa asin tapi nikmat. Setelah itu langsung kukulum batangnya.
"Ohh.. nikmat sekali, To! Terus, To!" Pak Arman mencengkram kepalaku.
Aku semakin bersemangat, terus kukulum kejantanan itu sambil kumainkan lidahku di ujungnya, dan terkadang kugigit pelan karena gemas. Kemaluan Pak Arman begitu perkasa. Pak Arman terus mencengkram kepalaku. Bosan dengan itu kuciumi lipatan paha Pak Arman, ooh.. terasa sekali bau kelelakiannya. Lama juga aku bermain di situ, kemudian pelirnya kucium dan kukulum, sementara tanganku bermain di anusnya yang dipenuhi bulu. Aku mencoba memasukkan telunjukku, terasa sulit, tapi lama-lama bisa juga.
"Terus, to.. oh.., nikmat sekali.." Pak Arman semakin menggelinjang.
Kemudian kubalikkan tubuh Pak Arman. Kubelai pantatnya yang gempal, kucium dan terkadang kugigit. Oh.. nikmat sekali. Perlahan kubuka bongkahan pantatnya, kemudian kusibakkan bulu-bulunya yang lebat, terlihat anusnya yang mungil kemerahan seakan menantangku untuk mengulumnya. Langsung saja kujilati anusnya, desahan Pak Arman terdengar semakin keras, apalagi saat lidahku masuk ke lubangnya dan kemudian menghisapnya. Anusnya terasa harum sekali, sungguh aku sangat menyukainya.
"Oh.., Anton, Bapak enggak kuat lagi.."
Tiba-tiba Pak Arman membalikkan tubuhnya, dan kemudian membantingku ke kasur. Diciumnya leherku dengan ganas.
"Boleh, Bapak ngentot kamu..?" ia menatapku dengan harap.
Aku menganggukan kepalaku. Pak Arman langsung berdiri, kemudian ia menundukkan kepalanya di selangkanganku, kakiku ditariknya dan kemudian dijilatinya anusku. Oh Tuhan nikmat sekali, apalagi kumisnya kuat sekali menggesek-gesek kulitku.
Tak lama ia mengangkat kakiku, kemudian diletakkannya di pundaknya, batang kejantanannya terasa sekali menyentuh anusku. Sesaat aku merasa ngeri membayangkan batang kejantanan Pak Arman yang besar membobol anusku yang kecil, tapi nafsu telah mengalahkan segalanya. Pak Arman sendiri tampaknya kesulitan memasukkan kejantanannya. Ia kemudian memakai ludahnya untuk dijadikan pelumas, tak lama batang itu mulai masuk, aku menjerit kesakitan.
"Tahan dulu Sayang, Nanti juga tidak sakit.."
Aku menganggukan kepalaku.
Batang kejantanan Pak Arman makin masuk dan aku makin kesakitan. Pak Arman kemudian menciumbibirku sambil terus memasukkan kemaluannya. Ketika semuanya telah masuk, jeritanku semakin keras. Kemudian kugigit lehernya. Aku menangis kesakitan. Pak Arman diam sejenak, mencium bibirku, menjilati leherku dan mengulum telingaku. Sejenak aku melupakan rasa sakit itu. Ketika aku tidak menjerit lagi, ia mulai menggerakan batang kejantanannya. Kembali aku menangis kesakitan.
"Sabar Sayang.., nanti juga kau akan merasakan nikmat.." Pak Arman berusaha menghiburku sambil terus memberiku rangsangan-rangsangan.
Memang benar apa yang dikatakan Pak Arman, lama-lama aku merasakan nikmat juga. Perlahan kuimbangi gerakan Pak Arman sambil kubelai punggungnya yang liat. Keringat Pak Arman tampak sudah membanjir.
"Terus Pak.., terus..!" Aku semakin merasa keenakan.
Kupeluk tubuh Pak Arman makin erat, kucium ketiaknya dan kugigit lengannya.
"Oh.., anusmu nikmat sekali, Sayang.."
Gerakan Pak Arman semakin liar, digigitnya leher dan dadaku hingga membekaskan noda merah. Terasa sekali batang kejantanannya dengan kuat menyodok-nyodok anusku.
"Gimana Sayang.., apakah masih merasa sakit..?"
"Enggak Pak, nikmat sekali.."
Kugigit puting Pak Arman yang berwarna kemerahan. Kusedot-sedot hingga gerakan Pak Arman semakin cepat. Pantatnya yang gempal kembali kubelai, kuremas dan kubelai bulu kemaluannya sambil memainkan anusnya. Sesekali jariku menusuk-nusuk anusnya.
"Aku tak kuat lagi Anto.."
Tubuh Pak Arman tampak gemetar, kemudian ia memelukku dengan erat sambil menggigit dadaku. Dan kurasakan denyutan keras di anusku disertai semburan hangat.
Ketika semuanya reda, Pak Arman tetap memelukku, kubelai dan kuseka keringat di wajahnya. Kemudian kembali kubelai rambutnya. Pak Arman memejamkan matanya.
"Terima kasih Sayang, aku puas sekali..!"
Diremasnya pundakku tanpa membuka matanya.
"Kamu ingin juga dikeluarkan..?" tiba-tiba Pak Armani membuka matanya dan menatapku.
Aku menggelengkan kepala, "Enggak usah sekarang, Pak.." aku tersenyum, "Aku hanya ingin membahagiakan Bapak.."
Pak Arman kemudian mencium pipiku dengan mesra.
"Lebih menyenangkan memeluk Bapak seperti ini.."
Kembali kurengkuh tubuh itu dengan kuat, kubelai sampai kemudian Pak Arman tidur di dadaku. Oh.., bahagia sekali rasanya hatiku, dan ini bukan mimpi.
Kami terus melakukan hal itu sampai saya lulus dari SMA, dan kemudian kuliah di luar kota. Sejak itulah kami jarang bertemu, tapi saya akan terus mengingat Pak Arman, karena saya amat mencintainya. Dan entah mengapa sejak saat itu saya lebih bernafsu dengan melihat tubuh cowok yang lebih dewasa atau bapak-bapak.

Pak Iskandar 2

"Harus dipancing dulu, biar bangkit. Baru..," lanjutnya sambil mulai memegang miliknya lagi.
Aku menelan ludah, "Dipancing pake apa Pak?"
"Apa saja. Yang penting bisa bikin merangsang. Ha..ha.." tawanya terdengar agak canggung.
Jangan-jangan ia mulai nervous dengan perkembangan suasana yang tampaknya makin mengarah ini. Aku sendiri juga agak nervous dengan situasi ini. Tapi kulihat tangan Pak Is masih berada di bagian depan sarungnya, dan sesekali tanpa sadar mengelus-elus daerah itu.

"Coba..," aku nekat memberanikan diri mencoba mengulurkan tanganku untuk ikut memegang miliknya.
Sebenarnya aku agak ragu melakukan itu. Aku tidak mau dianggap kurang ajar. Tapi tampaknya semua sudah terlanjur. Dan ternyata Pak Is membiarkan saja ketika tanganku menyentuh bagian depan sarungnya. Yang pertama kurasakan adalah bagian itu terasa kenyal-kenyal padat dan belum bangun. Meski masih tertutup sarung, terasa sekali bonggolan pada bagian kepalanya. Tanganku lalu merambah ke bagian kantung zakarnya dan kuremas. Kulitnya tebal dan agak kasar. Mungkin banyak ditumbuhi bulu. Pak Is senyum-senyum saja melihat apa yang kuperbuat.

"Dibuka saja ya Pak..," suaraku terdengar agak bergetar.
Pak Iskandar lalu melepas sendiri simpul sarungnya, dan membiarkan tanganku menelusup masuk dan menarik bagian depannya ke bawah. Kini tampak jelas bulu lebat memenuhi sekeliling batang kemaluan dan buah zakarnya. Langsung kugenggam otot vital yang masih lemas itu. Kupijat dan kuurut-urut pelan, maju mundur. Kudengar Pak Is mulai gelisah dan beberapa kali nafasnya mendesah pelan.

"Enak?" tanyaku sambil menatapnya.
Yang kutanya mengangguk ringan sambil tersenyum. Tanganku lalu makin kuat meremas. Pak Is pun makin gelisah. Ia kemudian menyandarkan punggungnya seolah pasrah dengan segala perbuatanku. Matanya terpejam meresapi setiap gerakan tanganku di sepanjang batang kemaluannya.

Masih dalam posisi duduk bersandar, Pak Is kemudian pelan-pelan mengangkat pantatnya dan melepas seluruh sarungnya. Kini dapat kulihat kedua pahanya yang gempal itu penuh dengan bulu hingga ke bagian kakinya. Tanganku pun semakin bersemangat menyerangnya. Apalagi ia kemudian membuka pahanya lebar-lebar, seolah memintaku untuk berbuat lebih jauh. Segera kuarahkan tanganku ke buah kemaluannya dan jari-jariku pun mulai bermain di sana. Kurasakan daerah itu mulai basah oleh keringat, menyebarkan aroma yang khas dari tubuh seorang lelaki.

Kini miliknya sudah membesar dan makin lama makin mengeras. Ini pertama kali aku dapat melihat bagian tubuh paling rahasia dari laki-laki yang selama ini telah menarik perhatianku. Barangnya tergolong besar dengan bentuk yang bagus, terutama bagian kepalanya yang membengkak itu. Ingin rasanya mendaratkan lidahku ke sana. Tapi tampaknya saat ini aku tidak dapat gegabah untuk langsung berbuat lebih jauh. Harus hati-hati dan perlu penjajakan. Karena sejauh pengamatanku, Pak Is bukan golongan orang yang 'sakit'.

"Ke dalam saja yuk..!" tiba-tiba Pak Is menginterupsi kegiatanku.
"Wah, lampu makin hijau nih," pikirku.
Segera saja kami menuju ke kamar tidurnya. Sarungnya dibiarkan teronggok di bawah kursi ruang keluarga, dan ia berjalan ke arah kamar hanya memakai kaos oblong, sementara bagian bawah tubuhnya polos tanpa penutup apapun. Pantatnya yang padat itu tampak menyembul seksi dari bagian belakang oblongnya, sementara di bagian depan, benda bulat panjang miliknya tampak berayun-ayun ketika berjalan menuju kamar.

"Celanamu dibuka juga dong..," katanya setengah berbisik begitu kami sampai di dalam kamar.
Aku segera melepas ikat pinggang dan celana panjangku. Punyaku yang sudah tegang dari tadi langsung menyembul keluar dari celana dalam. Pak Is hanya tersenyum saja melihatnya.
"Gede juga punya kamu," ia berkomentar sambil menuju ke arahku.
Tangannya lalu menelusup masuk ke cawatku, menggenggam dan mencoba meremas-remas batang kemaluanku. Inilah sentuhan pertamanya, dan aku merasakan ada yang berbeda dari sentuhan-sentuhan yang selama ini pernah kurasakan. Pak Is sepertinya seorang 'The Great Toucher'.

"Kita saling bantu ya..," bisiknya seolah meminta ijin sambil tangannya pelan-pelan menarik celana dalamku ke bawah.
Aku tidak tahu kenapa Pak Is terus berbisik-bisik tiap mengatakan sesuatu. Barangkali ia was-was atau memang belum pernah melakukan ini sebelumnya.

Aku tidak menanggapi bisikan Pak Is tadi. Karena tanganku sibuk melepas baju kantorku hingga tinggal kaos singlet saja yang kukenakan. Aku mencoba melihat reaksinya, apakah ia 'setuju' jika aku mencopot semua pakaianku. Pak Is tampaknya tidak bereaksi apa-apa dengan ketelanjanganku, maka segera kutarik singletku ke atas dan kulepas ke lantai. Bersamaan dengan itu, Pak Is membetot milikku cukup keras, sampai aku tersentak. Ia malah tertawa berderai-derai. Segera kusambar barangnya dan gantian kubetot. Tapi ia mencoba menghindar dengan menarik pantatnya ke belakang. Tanganku terus mendesak dan tidak kulepas betotanku. Kami berdua seperti anak kecil yang sedang bercanda. Padahal kami adalah dua laki-laki dewasa, dan ini bukan main-main. Ini serius, permainan orang dewasa.

"Kaosnya nggak dibuka Pak?" kataku seperti mengingatkan dia.
"Emang mau main lebih jauh apa?" sahutnya skeptis sekaligus menantang, tapi kemudian ditariknya kaosnya ke atas dan melemparkannya ke lantai.
Kini aku dapat melihat keseluruhan tubuh lelaki ganteng ini. Tubuhnya memang tegap. Badannya agak gempal tapi padat. Bulu badannya yang tadi sempat kulihat tumbuh di bagian perut, ternyata juga tumbuh subur di sekitar dadanya.

"Banyak bulunya ya..," komentarku sambil mengusap-usap dada dan perutnya.
"Ya begitulah. Katanya sih masih ada turunan Arab-nya," jawabnya sambil ikut mengusapi sendiri bulu yang ada di dadanya.
Pantas, kalau diperhatikan dengan jeli, wajahnya Pak Is memang rada tipikal 'timur tengah', meskipun kesan itu tidak terlalu kuat. Mungkin ia turunan ke sekian dari darah Arab yang mengalir di tubuhnya. Tapi sisa-sisa gen itu masih ada, hidung mancung, garis alis yang tajam, kumisan dan.. ukuran barangnya yang termasuk ukuran kuda Arab, 'king size'.

"Pantas!" hanya itu yang keluar dari mulutku menanggapi ucapan Pak Is tadi.
"Apanya yang pantas?" tanyanya agak bingung.
"Pantas punya Bapak gede begini. Arab!" kataku sambil memilin-milin miliknya.
Pak Is sedikit tersentak ketika pilinanku menjadi sebuah remasan yang kuat.
"Punyamu juga lumayan kok," balasnya sambil gantian memilin-milin batang kemaluanku.
"Mau mulai sekarang..?" bisiknya kemudian sambil mulai mengocok-ngocok punyaku.
Uuhh, badanku langsung bergidik merasakan kocokan tangannya. Kurasakan ada yang berdesir-desir di bagian bawah tubuhku. Geli campur enak. Enak campur geli. Belum pernah aku onani dibantu seperti ini.

Sejenak aku terbuai dalam kenikmatan baru. Mataku terpejam merasakan ketrampilan tangan Pak Is dan meresapi setiap sentuhan yang tampaknya ia lakukan dengan penuh perhitungan, sehingga membuatku benar-benar hanyut oleh rasa nikmat. Sampai-sampai Pak Is mengingatkan aku untuk mengonaninya juga dengan mengarahkan tanganku ke pusat selangkangannya. Dalam posisi berdiri kami akhirnya saling kocok satu sama lain. Wajah Pak Is sudah mulai tegang serius. Matanya memicing menatapku. Mulutnya tampak mendesis-desis. Entah kegelian atau kenikmatan, atau kedua-duanya. Beberapa butir keringat sudah mulai muncul di keningnya. Aku sendiri mulai berpeluh merasakan permainan yang makin memanas ini.

Aku tidak mau bermaksud kurang ajar sebenarnya, tapi demi melihat tahap demi tahap peristiwa malam ini yang sama sekali di luar dugaanku, aku sempat berpikir untuk melakukannya hal yang lebih jauh terhadap Pak Is. Lagi pula semua sudah kepalang basah. Kalau pun ada penolakan darinya, toh tahapan seksual yang kami capai malam ini sudah cukup jauh untuk ukuran dua orang lelaki seperti kami.

Maka aku pun menyampaikan keinginanku padanya, "Pak Is mau diisap?" aku berbisik pelan ke telinganya.
Pak Is sempat memundurkan kepalanya karena kaget.
"Hah..? Nggak salah nih..?" katanya menatapku dengan tajam, tapi bibirnya menyungging senyum.
Gantian aku yang kaget. Ini penolakan atau..?
"Dik Tanto, memang.. mau..?" suara Pak Is terdengar hati-hati.
Aku mengangguk meyakinkannya.

Sejenak kami diam, berpandangan. Entah pikiran apa yang berkecamuk di benak Pak Is. Kalau aku sih nggak ada masalah. Bahkan kalaupun aku berhasil melakukannya, aku tidak mengharap ia mau membalas perbuatanku.
"Gimana..?" aku memecah kebengongannya.
Tangan kami kini sudah terlepas dari 'burung' masing-masing.
"Dik Tanto serius nih?"
Aku menjawabnya dengan meremas miliknya agak kuat.

Lalu tanpa basa basi lagi, aku berjongkok dan langsung melahap kepala kemaluannya. Kurasakan badan Pak Is agak tersentak dan kemudian mengejang. Apalagi ketika lumatanku hampir menelan seluruh batangnya. Tidak lama kemudian tangannya mulai memegangi kepala dan rambutku. Dan pegangan itu makin lama makin kuat seiring dengan kuatnya lumatanku pada meriam kecilnya. Kudengar berkali-kali Pak Is mendesah 'ahh'. Sesekali diiringi desisan seperti orang kepedasan. Aku semakin gencar memainkan mulut dan lidahku di sepanjang batang yang kini terasa makin tegang, pejal, panas.

Tiba-tiba Pak Is menarik bahuku ke atas. Sepertinya ia tidak kuat menghadapi permainan mulutku. Wajahnya tampak memerah dan nafasnya tidak beraturan.
"Aduh.., isapanmu..," Pak Is tidak tuntas bicaranya, tapi aku dapat menangkap bahwa ia terkesan sekali dengan perbuatanku di bawah tadi.
"Mau dilanjutkan?" aku menantang sambil mengusap mulutku yang basah oleh air liurku sendiri.
Tapi Pak Is menggeleng, "Nanti saja. Bapak nggak nyangka kalau isapanmu ternyata lebih enak," kata Pak Is tanpa menyebut dengan siapa aku dibandingkan.
Tapi tentu saja yang ia maksud adalah istrinya.

"Kita saling kocok saja ya..," kata Pak Is seperti memohon dan kemudian mulai meloco punyaku.
Aku ikuti saja kemauannya. Mungkin ia masih kagok dihisap oleh sesama lelaki, meskipun kenyataannya ia menikmatinya. Makin lama gerakan tangan dan jemari Pak Is makin trampil. Mungkin ia sudah terbiasa melakukannya. Dan tampaknya ia tahu persis bagian-bagian mana yang sensitif dari kemaluanku. Beberapa gerakan tanganku pun terpengaruh oleh gerakan tangannya. Aku seperti dipandu oleh Pak Is selama acara kocok-mengocok ini.

Dan akhirnya aku lah yang pertama kali 'muncrat'. Orgasmeku terasa sangat nikmat karena tangan Pak Is dengan pintarnya menciptakan gerakan-gerakan tertentu di sela-sela puncak kenikmatan itu. Aku harus mengakui, ia benar-benar trampil bermain tangan.

Beberapa saat kemudian, masih dalam pengaruh orgasme yang belum sepenuhnya reda, aku tanpa permisi lagi berjongkok di bawah selangkangan Pak Is dan langsung kulahap miliknya yang kini sudah sangat meradang. Kukerahkan segala cara yang kuanggap dapat membuatnya kelojotan. Dan memang tubuh Pak Is kurasakan mengejang berkali-kali. Suaranya sudah seperti orang gila yang meracau tidak jelas. Tampak jelas ia sangat keenakan dengan lumatan-lumatan mulutku.

Batangnya kurasakan semakin membesar saja, makin hangat dan makin keras. Sementara bagian kepalanya kemaluannya tampak semakin gelap dan mengkilap. Sepertinya gunung birahi sudah menampakkan tanda-tanda akan meledak dan memuntahkan laharnya. Dan aku harus menuntaskannya.

Maka ketika gerakan pinggul Pak Is makin tidak karuan, segera kutelusupkan mulut dan lidahku ke gundukan kantung buah zakarnya yang tebal. Pak Is pun kemudian berteriak tertahan, sebelum akhirnya air maninya menyemprot berkali-kali dan jatuh di atas wajahku yang masih tenggelam di bawah gundukan bola Adam miliknya. Sengaja kubenamkan dan kugesek-gesekkan hidung dan mulutku di pusat produksi sperma itu. Ia makin kelojotan.

Selama ejakulasi tadi, badan Pak Is tampak tersengal-sengal, sesekali mengejang dan menyentak-nyentak. Entah ada berapa semprotan tadi yang keluar. Yang jelas, dagu dan pipiku penuh berleleran cairan kental putih dengan aroma yang khas menyegarkan. Ketika semuanya tuntas, Pak Is segera menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan rebah telentang di sana. Nafasnya tampak ngos-ngosan. Matanya terpejam, tapi bibirnya sedikit terbuka, mengeluarkan lenguhan kepuasan. Aku hanya dapat memandanginya dari tempatku berdiri.
"Lain kali aku dapat membuatmu lebih gila dari malam ini," pikirku.

Pengalaman malam itu merupakan awal dari hubunganku dengan Pak Iskandar. Tapi kami jarang melakukan di rumahnya, apalagi kalau ada keluarganya. Pak Is lebih sering main ke tempat kostku, dan kami melampiaskan hasrat seks di kamarku. Sejauh ini kami hanya sebatas saling meloco. Sementara oral seks kulakukan secara sepihak, karena Pak Is belum 'tega' melakukan itu padaku, baru dalam taraf mencium-cium milikku saja. Tapi bagiku itu sudah cukup. Mungkin perlu waktu dan pendekatan yang lebih intens lagi sebelum aku mengajak Pak Iskandar berbuat lebih jauh dan lebih gila lagi.

Pak Iskandar 1

Jangankan bergaul dengan para tetangga, mengobrol dengan teman satu kost pun jarang sekali kulakukan. Bukan apa-apa, kegiatanku sehari-hari memang sangat padat dan sibuk. Hampir tiap hari aku berangkat kantor jam setengah tujuh pagi, dan sampai rumah lagi paling cepat jam delapan malam. Lebih dari dua belas jam waktuku habis di luar rumah. Baru hari Sabtu dan Minggu aku habis-habisan untuk bersantai, bangun siang, malas-malasan di rumah, baca-baca, nonton atau jalan santai ke mall-mall.

Itulah yang membuatku agak heran ketika malam itu, malam Sabtu, setiba dari kantor dan belum sempat berganti baju, tiba-tiba timbul keinginan untuk nongkrong di luar sambil merokok. Santai. Barangkali malam ini adalah akhir pekan dan besok aku masih punya dua hari libur. Jadi malam ini kupikir aku dapat mulai membuang waktuku untuk bersantai.

"Kok tumben nongkrong di luar, Dik Tanto?" sebuah suara agak berat, tapi ramah, mengagetkanku.
Rupanya Pak Iskandar, bapak-bapak tetangga sebelah rumah yang menyapaku. Rumahnya tidak persis di sebelah tempat kostku, tapi selisih tiga atau empat rumah. Kebetulan ia sedang lewat melintas di depan rumah kost.

"Iya nih Pak Is, lagi santai," aku mencoba menanggapi basa-basinya Pak Iskandar.
Sungguh, aku agak surprise. Selama ini aku hanya mengenal dia sekedarnya saja, karena hampir tiap berangkat ke kantor aku lewat di depan rumahnya, dan biasanya kulihat ia sedang sibuk memanasi mesin mobilnya. Terus terang aku suka dengan Pak Iskandar. Bukan saja karena ia ramah dan baik, tapi orangnya juga ganteng dan simpatik. Usianya berkisar 40 tahunan, tapi masih nampak segar dan energik. Setiap kali bersua, ia selalu menyapaku dengan teguran-teguran ringan, dan tidak lupa melemparkan senyum di balik kumisnya yang menawan itu. Dan kini, malam ini, orang yang kusukai itu ada di hadapanku.

"Dari mana Pak?" aku mencoba mengajaknya berkomunikasi.
Dan ia tampaknya merespon pertanyaanku dengan berhenti sebentar dan ikut duduk di sampingku.
"Ini, lagi nyari lampu ke toko seberang jalan," katanya sambil menunjukkan bungkusan panjang yang nampaknya sebuah lampu neon.
"Putus Pak, lampunya?" tanyaku.
"Iya nih, jadi repot. Mana lagi nggak ada orang di rumah. Jadi saya sendiri yang keluar beli lampu," katanya bercerita sambil tertawa.

"Memang lagi pada kemana, Pak?"
"Tadi pagi, ibunya sama yang bungsu berangkat ke Bogor, ke neneknya. Biasa, besok kan liburan," katanya sambil menyebut anaknya yang sulung sedang ada acara kemping ke luar kota, "Jadinya ya sendirian..," lanjutnya.
"Ayo, main ke rumah. Ngobrol di sana saja," ajaknya sambil berdiri untuk pamitan.
Aku menanggapi dan mencoba menolak ajakannya secara halus. Tapi tampaknya Pak Is tidak sedang berbasa-basi. Ia 'serius' mengajakku ke rumahnya. Aku jadi tidak enak sendiri.

"Oke..," kataku sambil beranjak berdiri.
Apa salahnya sekali-sekali bersilaturahmi ke rumah tetangga. Jangankan tetangga yang lain, ke rumah Pak Is pun aku belum pernah. Padahal dia lah tetangga yang paling 'kukenal'.

"Ayo masuk," katanya begitu sampai di depan rumahnya."Santai saja. Anggap seperti rumah sendiri," kata Pak Is sambil masuk ke dalam.Rumahnya cukup nyaman. Terasnya cukup luas dan penuh pepohonan. Kulihat ruang keluarga agak remang-remang. Mungkin di sanalah lampu neon yang putus itu. Sejenak aku melihat ke ruang tamunya, suasana di situ terlihat cukup hangat. Tapi aku memilih duduk di kursi santai yang ada di teras saja.

Tidak beberapa lama Pak Is keluar sambil menenteng lampu neon. Ia sudah berganti pakaian dan sekarang tampak santai dengan sarung dan kaos oblong.
"Ayo masuk saja..!" ajaknya.
"Bisa bantuin saya masang lampu kan?" katanya akrab.
Sialan, jadi aku diajak ke sini cuma disuruh bantuin masang lampu? batinku bercanda. Toh, yang masang lampu akhirnya memang Pak Is juga. Aku hanya membantu menjaga kursi pijakannya sambil memegangi neon sebelum dipasang.

Ada hal yang sempat menarik perhatianku ketika Pak Is sibuk memasang neon itu. Ruang keluarga yang agak remang-remang sepertinya membuat Pak Is agak kerepotan memasang neon yang baru. Dengan kedua tangannya yang terentang ke atas, ia tampak sibuk berkutat. Sesekali kedua kakinya berusaha menjejak lebih tinggi, sehingga menyebabkan bagian depan kaos oblongnya terangkat ke atas dan belitan sarungnya agak merosot ke bawah. Sekilas dalam keremangan aku dapat melihat perut Pak Is bagian bawah dipenuhi bulu lebat. Aku agak tercekat melihat pemandangan itu. Mau tak mau, pandanganku pun secara reflek bergeser ke arah bawah, ke gumpalan di bagian depan sarungnya.

Ketika gerakan tangan Pak Is makin sibuk berkutat di atas sana, belitan sarungnya kulihat makin turun ke bawah, dan aku sempat sekilas melihat bagian atas dari bulu kemaluannya. Gila! Aku sempat berpikir kalau Pak Is saat itu tidak memakai celana dalam, karena tidak kulihat sedikit pun bagian celana dalamnya yang seharusnya sudah terlihat dalam posisi seperti itu. Sialan, kerongkonganku terasa kering meskipun beberapa kali aku telah menelan ludah.

"Susah ya Pak..?" aku menengok ke atas ke arah Pak Is, mencoba menetralisir suasanaku sendiri.
"Iya nih, mudah-mudahan nggak salah ukuran," katanya sambil masih berkutat di atas. "Kalau kegedean 'kan susah masuknya," lanjutnya sambil tertawa.
Aku tadinya nggak 'ngeh' kalau ia sedang bercanda.
"Ah, Bapak bisa saja," kataku kemudian begitu menyadari candanya yang menyerempet itu.

Akhirnya, "Sudah! Beres!" desah Pak Is lega sambil turun dari kursi.
Spontan tangannya membetulkan posisi simpul sarungnya yang tadi sempat melorot.
"Wah, tadi untung sarungnya nggak copot. Bisa-bisa bikin Dik Tanto pingsan..," lanjut Pak Is sambil ketawa.
Sementara aku malah jadi kikuk sekaligus penasaran dengan maksud ucapannya yang menurutku rada konyol untuk diucapkan oleh seorang Pak Iskandar. Karena sejauh ini dia terlihat seperti orang yang konservatif.

Begitu saklar lampu dinyalakan, sosok Pak Is menjadi terlihat lebih jelas. Keningnya sedikit berkeringat. Rambut ikalnya agak sedikit kusut. Di ujung kumisnya juga nampak sedikit butiran air. Kaos oblongnya di bagian dada tampak sedikit basah, memberiku sedikit gambaran kalau ia punya dada yang lumayan bidang.

"Mau minum apa?" katanya seperti mengagetkan gejolak pikiranku.
"Apa aja Pak," jawabku sekenanya, karena masih kaget.
"Kopi? Mau?" katanya sambil mendekat ke arahku. "Siapa tahu ngobrolnya sampai malam. Nggak pa-pa kan? Besok kan libur. Iya kan?" lanjutnya sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Boleh juga," kataku dalam hati, tapi yang keluar dari mulutku hanya tawa ringan.

Aku segera duduk di ruang keluarga itu dan menyetel TV. Tidak berapa lama kemudian Pak Is muncul dengan dua gelas kopi panas. Segera saja kami larut dalam obrolan, sambil merokok dan minum kopi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan kurang sedikit. Acara di TV tidak terlalu menjadi perhatian kami. Tapi sesekali Pak Is mengomentari acara yang ditayangkan. Kadang-kadang komentarnya serius, kadang ringan bercanda.

"Dia cantik, tapi kok kayaknya nggak simpatik ya?" katanya mengomentari salah satu artis yang sedang muncul di TV.
"Memang Pak Is suka yang gimana?" tanyaku menggodanya.
"Wah, saya sih udah tua. Nggak ada idola lagi. Kamu sendiri gimana?" ia malah balik bertanya.
Aku gelagapan. Tapi aku menyebut beberapa artis kesukaanku. Pak Is mengangguk-angguk sambil tersenyum. Obrolan kami lalu beralih ke masalah perempuan, kemudian loncat ke topik psikologi, sampai akhirnya ke masalah seks.
"Nah! Tampaknya aku sudah mulai dapat masuk ke 'area' yang lebih sensitif nih," pikirku.

Ketika konteks pembicaraan seks agak meringan, kuberanikan bertanya tentang ucapan Pak Is, "Kok tadi bilang kalau sarungnya merosot bisa bikin saya pingsan?"
"Oh itu! Ha.. ha.. ha..," jawabnya sambil terbahak-bahak, "Saya lagi nggak pakai celana dalam..!"
"Tuh kan betul..!" pikirku.
Tapi aku pura-pura kaget dan tertawa bersama. Kurasakan dadaku berdegup lebih cepat. Laki-laki di depanku ini yang semula kuanggap konservatif ini ternyata orang yang terbuka dan rada konyol juga.

"Mosok gitu saja kok bisa bikin pingsan? Memang punya Pak Is menyeramkan?" godaku sambil sengaja melirik bagian depan sarungnya.
Kulihat ia malah memegang bagian itu dan mengusapnya. Ah! Sialan!
"Iya 'kali," katanya cuek. "Kenapa? Takut?" gantian ia menggodaku.
"Siapa takut? Saya juga punya kok, ha.. ha..," aku tidak mau kalah.
Kurasakan punyaku mulai bangun akibat obrolan-obrolan yang mulai mengarah itu.

"Kalau lagi ditinggal istri begini, nggak bisa dipakai dong Pak," kataku makin berani.
"Kalau cuma satu dua hari ya masih tahan. Kalau lebih dari seminggu, ya..," ia tak melanjutkan jawabannya.
"Ya, apa?" tanyaku mendesak dengan nada menggodanya.
"Ya, paling 'coli' saja," katanya sambil tangannya bergerak-gerak memberi contoh layaknya orang beronani.
"O ya..? Seumur Bapak masih suka gitu juga?" aku makin bersemangat mendesaknya.
"Emangnya cuma bujangan seperti kamu saja yang suka begitu?" jawabnya tidak mau kalah, "Dulu waktu masih bujangan, saya bisa dua hari sekali begitu."
"Wah, tegangan tinggi juga ya Pak. Saya paling banyak seminggu dua kali lah," aku mulai mencoba terbuka, terpengaruh oleh ucapannya.
"Nyabun?" Pak Is bertanya dengan mimik menyelidik.
"Pake apa aja, yang penting enak..," jawabku ringan dan tertawa kami berderai-derai.

Pak Is lalu bercerita kalau ia memang punya nafsu seks yang besar. Sayangnya istrinya tidak terlalu bisa mengimbangi. Tapi ia tidak mau melacur, takut penyakit. Untungnya, kalau masih 'kurang', istri Pak Is masih mau membantu melampiaskan hasrat suaminya dengan berbagai cara. Entah melalui oral seks, dibantu beronani atau cara lainnya, yang penting 'muncrat', demikian cerita Pak Is. Kalau istrinya sedang malas, terpaksa lah Pak Is meloco sendiri. Dan menurutnya ia bisa menikmati itu.

"Wah, jadi tegang nih..," kataku menyela cerita Pak Is.
"O ya?" matanya mendelik lucu sambil menatap ke arah depan celanaku.
"Kalau onani sambil dibantuin, enak kali ya Pak?" aku mulai memancing.
"O jelas! Kenapa? Mau?" balasnya.
Pancinganku tampaknya masuk. Tapi terus terang aku malah kaget dengan 'tawaran' Pak Is itu.
"Emm.., kapan-kapan saja Pak," aku pura-pura bersikap ragu. Lalu, "Memangnya Bapak lagi mau 'dibantuin' juga?" akhirnya aku mencoba meyakinkan tawarannya.
"Hmm..," ia tersenyum menatapku. Entah apa artinya.

Bersambung . . . .

Kang Saridjo, Pelampiasan Syahwatku 3

"Duh.. Den, istriku saja nggak mau macam Aden gini.. Duh, enak bangett.. Sseehh.," dia meracau.

Ludahku membuat ketiak itu kuyup. Dan asin keringat ketiak yang larut dalam ludah itu kuambil kembali melalui isepan dan sedotan bibir dan lidahku.

"Amppuunn.. Deenn..." rintih nikmat Kang Saridjo.

Kulakukan sama pula pada sebelah ketiak lainnya. Kutinggalkan bekas kecupan pada dadanya. Aku benar-benar seperti kadal yang bergerak menggeliat-geliat merambah dada hingga perut Kang Saridjo.

Saat aku mencium dan melumati perutnya yang macam papan cuci karena otot-ototnya yang bergumpalan tanganku mulai merambahi pinggul dan turun mengarah ke bokongnya. Kemudian saat ciumanku tenggelam ke arah selangkangannya tangan-tanganku melepaskan jari-jarinya untuk merabai celah bukit bokongnya. Ini sensasi baru lagi bagi Kang Saridjo.

Jari-jariku dengan halus merabai pembuangan tainya. Kurasakan bulu-bulu lebat menutupi bibir duburnya. Saat jari-jariku mulai mendesak bibir dubur itu, teriakan kecil Kang Saridjo terdengar, "Ad.. Dden..!! Acchh..." itu pertanda kenikmatan baru menerjang dia. Kang Saridjo tentu tidak mengelak. Bahkan dia mengangkat sedikit bokong dan pahanya untuk memberi jalan lebih terbuka bagi jari-jariku untuk bermain pada lubang tainya itu. Bagiku juga sungguh membakar nafsu. Saat jari-jari berusaha menusuk lubang duburnya terasa sesak, kukulum dulu jari-jariku untuk mendapatkan basah ludahku. Sepintas aroma dubur Kang Saridjo menerpa hidungku.

Akhirnya Kang Saridjo benar-benar melipat kakinya hingga pahanya nempel ke dadanya. Aku dari arah bawah merangkaki dan menindih nyungsep di selangkangannya. Aku semakin menggila menjilati kontol Kang Saridjo. Batang dan kepalanya yang terus mendapatkan lumatan dari lidah dan bibirku terus mengalirkan deras precum-nya mengasinkan lidahku.

Ketika aku mulai mengulum biji-biji pelirnya, jari tanganku sudah mulai menembusi duburnya.

"Acchh.. Achh... Deenn.. Acch..." suara itu sungguh semakin merangsang nafsu seksualku.

Setiap terasa agak sesek jariku kukulum untuk membasahkan pakai ludahku. Setiap kali semen dubur Kang Saridjo yang terbawa jari-jariku kujilat dan kurasakan sepatnya. Ketika jari-jariku mulai keluar masuk lubang itu Kang Saridjo terus merintih kenikmatan.

"Deenn... Adenn.. Ampun Denn.. Enak Den.. Teruzz ddeenn.."

Berikutnya kudorong miring lipatan kakinya hingga rebah ke kasur. Kemudian kudorong lagi hingga Kang Saridjo tahu bahwa aku ingin dia nungging. Dia tahu mauku. Dia berusaha membuka lebih lebar belahan pantatnya dengan cara meletakkan kepalanya ke kasur sehingga bokongnya nungging tinggi.

Dan kusaksikan betapa pantatnya yang coklat hitam penuh bekas-bekas luka lebat tertutupi bulu-bulu badannya. Tepat pada lubang duburnya nampak bulu itu gelap melebat. Duuhh.. Sungguh mempesona libidoku. Aku tak mampu menahan diri. Dengan cara merangkaki dari belakangnya, kubenamkam wajahku ke belahan pantatnya itu. Kuendus aroma khas dari tempat itu. Hidungku membenam dan lidahku mencari-cari.

Sambil menjilati lubang duburnya, tanganku meraih batang kontolnya yang ngaceng menggelantung. Kuelusi dengan sesekali mengocok-ocoknya. Dalam tengkurep nunggingnya Kang Saridjo terus menerus merintih dan mendesah seperti orang kepedasan. Menjilati lubang tai Kang Saridjo sungguh memberikan kepuasan sensasional bagiku. Lidahku yang menusuku-nusuk menyentuh celah yang licin halus di tengah rimbunan bulu duburnya. Terkadang aku menyedotinya. Ludahku yang menyatu dengan bulu-bulu lebat itu melarutkan segala sesuatu yang tertinggal untuk kusedoti.

Ketika birahiku tak lagi tertahan aku bangkit. Penisku yang telah demikian tegang rasanya cukup keras untuk menembusi pantat Kang Saridjo.

"Kang... aku pengin ngentot pantat kamu. Bolehh..??"
"Saya belum pernah. Tetapi terserah.. Adeenn.. Sajaa.."

Laiknya macam anjing kawin aku mendatangi Kang Sardi yang telah nungging demikian sempurna dari arah belakang. Kucocok-cocok-kan ujung penisku ke pantatnya dan kudesakkan.

"Dduhh.. Zzaakitt.. Dduhh.. Deenn.. Nggak ppaa-Pa khan.. Den?"

Aku tak perlu menjawabnya. Kuludahi kepala kontolku sebagai lumasan sdan kusodokkan kembali. Sedikit demi sedikit akhirnya.. Blezz..

"Adduuhh.. Duhh.. Ampunn.. Ddenn..." suara Kang Saridjo sambil menyeringai.

Hanya sekitar 10 detik berikutnya suaranya sudah beda,

"Teruzz ddenn.. Enhakk bangett.."

Sambil terus aku menggenjot-genjot, ku peluki tubuhnya dari arah belakang hingga spermaku muncrat di dalam lubang duburnya. Aku langsung kembali jatuh lemas terkulai di kasur. Kang Saridjo yang tahu aku sudah memuncratkan air maniku di lubang duburnya ikut rebah di sampingku,

"Enak Den..?" sambil merabai perutku, kemudian selangkangan dan kontolku.

Aku hanya menganguk angguk. Aku memerlukan bernafas sejenak sebelum memuasi Kang Saridjo. Mungkin dengan cara mengisepi kontolnya hingga air maninya kembali tumpah ke mulutku.

Kuminta Kang Saridjo bangun untuk jongkok seperti hendak menduduki wajahku. Dengan kembali nungging dia arahkan kontoplnya untuk 'menembaki' mulutku. Aku sudah siap untuk mengulumnya. Kumulai kembali dengan menjilati dan menggigit-gigit kecil batangnya yang liat itu. Kepalanya kusapu dengan lidahku. Tepian topi bajanya sangat peka saat lidahku menyentuhnya,

"Duuhh.. Duh.. Dduuhh..." Kang Saridjo terus meracau sambil memompakan kontolnya ke mulutku. Untuk memberikan rangsangan dan rasa nikmat yang lebih tinggi beberapa kali tangan-tanganku juga kembali mengelusi lubang pantatnya.

Tak sampai 2 menit kemudian..

"Ddeenn.. Saya mau kk.. Keluarr.. Ddenn.. Enhaakk bangett.. Telan pejuh saya 6ya ddenn.. Aden mau telan khan.. Den mau telan pejuhku khann..??!!" rupanya itu cara Kang Saridjo meningkatkan birahinya saat spermanya terasa hendak muncrat menumpakhi rongga mulutku..

Sodokkannya semakin cepat. Kontol gede panjang itu demikian kuat menusuki mulutku hingga sering menyentuh tenggorokanku. Beberapa kali aku dibuatnya tersedak. Aku terpaksa menggunakan siku tanganku agar tusukkan itu tak terlampau dalam menembusi mulutku.

Yang kurasakan kemudian adalah semprotan panas yang rasanya tak habis-habisnya. Berliter-litetr air mani Kang Saridjo tumpah muncrat dalam rongga mulutku. Kali ini tak ada yang tercecer. Kurasakan cairan itu demikian kental macam dawet yang hangat di mulutku. Aku berusaha menikmatinya dalam kunyahan-kunyahanku.

Kang Saridjo kembali rebah ke sampingku.

"Terima kasih Denn.. Aden mau melayani aku hingga aku merasakan kepuasan yang tak pernah kudapatkan dari istriku..." sambil merangkul kemudian sedikit menindih untuk menjemput bibirku dalam lumatannya. Lama kami saling melumat bertukar ludah. Kami saling memeluk tubuh dengan penuh birahi. Aku juga mengelusi rambutnya laiknya mengelusi rambut kekasihku. Aku merasakan betapa nikmat mengasihi orang macam Kang Saridjo.

Malam itu kami terus berasyik birahi hingga menjelang pagi. Entah berapa kali aku makan minum spermanya. Di tengah malam kami merasa sangat lapar. Kami makan mie instan yang tersedia di lemari dapur. Kang Saridjo semakin santai menghadapi aku. Kami saling tahu kesukaan lawan mainnya. Dia paling suka saat aku menjilati pantatnya. Dan dia tahu aku paling suka menelani spermanya.

Menjelang pagi dia minta aku nunging. Kang Saridjo ingin ngentot aku dari arah belakangku. Aku rasakan saat-saat batang liat besarnya mulai menembusi analku. Uuchh.. Rasanya seperti anak pompa sedang mengisi rongga analku. Aku berusaha sedikit menggoyang agar bisa menelannya lebih dalam dan.. Blezz.. Kontol segede pisang tanduk Kang Saridjo itu amblas dan pelan-pelan mulai memompa. Ducchh.. Kang Saridjo sudah lihai sebagai pemain seks sejenis. Dia dengan penuh nafsunya memompa pantatku sambil sesekali menariki rambutku seperti joki pada kudanya. Perlakuan itu sangat merangsang libidoku. Aku menikmati kekasarannya.

Ketika saat puncaknya mulai mendekat, Kang Saridjo memeluki tubuhku dari belakang sambil mempercepat laju pompaannya. Jleb, jleb, jleb, jleb.. Dan aku terangguk-angguk oleh sodokannya. Hingga tiba-tiba dia cepat mencabut kontolnya dari lubang analku..

Dengan cepat dia raih kepalaku dan ditariknya aku menghadap ke kontolnya yang siap memuncratkan pejuhnya. Dia sodokan kontol ngaceng berkilatan itu langsung ke mulutku. Dia paksakan aku menelan kontolnya yang baru keluar dari lubang analku.

"Ayo Den.. Telan pejuhku.. Ayoo ddenn.."

Dan muncratlah spermanya ke mukaku dan sebagian besar ke mulutku. Aku merasakan kembali pejuh kental bak dawet dari kontol Kang Saridjo. Aku menelaninya dengan penuh kerakusanku. Sepertinya sangat menikmati dan tak puas-puasnya Kang Saridjo menjejalkan kontolnya ke mulutku,

"Ayyoo Denn.. Minum pejuhku.. Telan Denn.. Makan tuuhh.. Enak kan pejuhku..??"

Kang Saridjo, Pelampiasan Syahwatku 2

Sambil bibir melumati dadanya, tangan-tanganku pelan merosotkan celana itu ke lantai. Aku melirik dari lumatan di dadanya. Yang tinggal hanyalah gundukkan besar dibungkus celana dalam katun coklat. Mungkin sudah dekil. Tetapi tanganku yang tak peduli langsung mengelus, mencemol dan meremas-remas gundukkan besar itu.

Aku terkesima pada hangat dan liatnya gumpalan otot itu. Kontol Kang Saridjo memang luar biasa besar. Aku tak sabar untuk selekasnya menjamahi. Tetapi Kang Saridjo justru meraih mukaku, mengamati. Dari bibirnya yang tebal dengan lingkaran kumisnya yang berantakkan dia berucap, "Achh... Aden cakep banget..."

Dan bibir tebal itu langsung memagut bibirku. Aku menyambutnya dengan penuh nafsu. Aku rasakan duri-duri rambut di dagu dan pipinya menusukki pipiku, bibirku. Aku juga terangsang banget dengan bau keringatnya yang merebak dari tubuhnya. Aku pepetkan tubuhku lebih lengket ke tubuhnya. Aku benamkam mukaku ke mukanya, lehernya. Aku berusaha menghirupi bau tubuh itu.

Semuanya itu seperti simponi birahi. Kenikmatan syahwat melanda dari celah tangan-tanganku yang terus meremas dan membetoti kontolnya, dari mukaku yang tenggelam ke lehernya sambil bibir memagut, dari tubuhku yang lengket keringat dengan tubuhnya. Ahh.. Kang Saridjo.. Kenapa nikmat banget siihh.. Aku melenguh sementara kudengar Kang Saridjo demikian juga. Kini kami sama-sama telah tenggelam dalam syahwat 'cinta sejenis'.

Untuk lebih leluasa aku giring bergeser menuju tempat tidur. Tepat ditepiannya kudorong tubuhnya hingga terduduk dan kudorong lagi untuk telentang dengan kedua kakinya yang masih menjuntai ke lantai. Aku menindih tubuh kekar itu dan mulutku langsung menjemput mulutnya yang dia sambut pula dengan penuh nafsunya. Dia memeluki tubuhku sambil menggeram-geram lirih melampiaskan desakan birahinya.

Tangan-tanganku tak mau tinggal. Terus meraba-rabai bagian tubuhnya dan merogoh kontolnya di balik celana dalamnya. Genggamanku terasa sangat mantap. Batang gede milik Kang Saridjo terasa berkedut-kedut dan hangat dalam tanganku. Aku meremas-remas pelan penuh perasaanku.

Akhirnya Kang Saridjo sendiri yang mencopot celana dalamnya. Dengan sedikit mengangkat bokong kemudian melipat pahanya dia tarik lepas celana dalam dekil itu. Aku terus memagut dagunya, lehernya, dadanya dan terus turun hingga ke otot-otot perutnya. Bulu-bulu yang melebat terhampar dai bagian depan tubuhnya membuat aku sangat keranjingan. Sedotan dan ciuman bertubi tak putus-putus kulepaskan pada tubuh penuh keringat dan bau lelaki itu.

Kang Saridjo nampak tak mampu menahan kenikmatan yang dia dapatkan. Dia mengaduh-aduh pelahan takut didengar temannya, sambil tangannya mulai mendorong kepalaku agar terus meluncur ke bawah. Aku merasakan dan tahu, dia pengin merasakan betapa mulutku menciumi dan mengulum kontolnya. Acchh.. Kangg.. Jangan khawatir.. Aku siap menjemput batang panasmu..

"Ayoo.. Dd.. Denn... saya udah nggak tahan nihh..!," dia mendesis. Tangannya semakin kuat mendorong kepalaku.
"Ayyoo.. Den.. Saya mau keluarr..!"

Wah, gawat. Rupanya desakan syahwat Kang Saridjo demikian menggebu. Peristiwa pertama bagi dia pasti merupakan sensasi yang hebat. Aku cepat menjemputnya. Sebelum mengulumnya aku ciumi terlebih dahulu jembutnya kemudian batang dan bijih pelernya. Bau kelelakiannya benar-benar menengelamkan aku dalam syahwatku sendiri.

Saat itu kulihat pada lubang kencingnya nampak membasah bening. Precum Kang Saridjo menunggu jilatan lidahku. Dan tanpa lagi disuruh lidahku sudah menjulur menjemput cairan bening asin itu. Lidahku bermain mengebor lubang kencing Kang Saridjo. Akibatnya..??

Dia mendesis keras menahan nikmat sambil tangannya dengan pedas meremas kepalaku. Kang Saridjo tak mampu menahan kenikmatan yang luar biasa saat lidahku menjilat. Pada saat itu juga dari kontolnya menyembur sperma panas. Sperma itu sangat kental dan kenyal. Serasa aku bisa menggigitnya. Mengangguk-angguk sekitar 6 kali lebih kontolnya menyemburkan spermanya ke wajahku.

"Addeenn.. Deenn.. Denn.. Maapin saya dd.. Eenn.. Maapin saya yaa ddeenn..." sepertinya orang menyesal Kang Saridjo mengeluarkan sperma sambil desahan iba telah berlaku macam begitu padaku. Aku tahu. Peristiwa ini sangat membuatnya 'merasa salah' pada dirinya. Dia pikir telah berlaku 'kurang sopan' padaku.

Namun justru suaranya itu pula yang membuat aku semakin keranjingan. Kujemput kontolnya masuk dalam kulumanku. Kumainkan jilatan-jilatanku pada lehernya, lubang kencingnya, batangnya. Kusedoti spermanya yang tercecer di jembutnya. Juga dari pipi dan daguku. Kumakan semua sperma Kang Saridjo yang muncrat itu.

"Jj.. Jaangann.. Dee.. Nn. Kotorr..."

Tetapi siapa yang bisa menahan gelora nafsuku pada saat seperti ini. Ciumanku juga melatai selangkangannya kemudian pahanya. Kontolku terasa ingin memuncratkan isinya pula. Aku tidak menunggu apa yang akan dilakukan Kang Saridjo. Dengan menciumi kemaluan, jembut, selangkangan dan pahanya birahiku memuncak dan meledak.

Spermaku muncrat tumpah di tubuh Kang Saridjo dan kasurku. Aku berteriak histeris tertahan bak anjing yang meregang nyawanya untuk kemudian jatuh lemas ke kasur di samping tubuh telanjang Kang Saridjo. Untuk beberapa saat kami saling terdiam.

Sore menjelang pulang kutahan Kang Saridjo agar menemani aku yang di rumah sendirian. Teman-temannya nggak ada yang curiga. Semula Kang Saridjo menampakkan keraguannya.

"Saya belum pamit orang rumah, Den," katanya.
"N'tar gue bilangin bini lu, Djo," sergah temannya membuat Kang Saridjo terpaksa mengikuti keinginanku.

Aku yakin sesungguhnya dia juga ingin. Mungkin untuk menunjukkan kepada teman-temannya bahwa nggak ada apa-apa di balik permintaanku itu. Begitu teman-temannya meninggalkan halaman rumah segera kututup pintu halaman dan sekaligus kugerendel. Aku rangkul Kang Saridjo menuju kamar tidurku kembali. Aku ingin puas-puaskan syahwatku bersama tukang AC yang kekar dan gempal ini.

Kenikmatan yang kami awali sejak siang tadi ternyata membakar nafsu syahwat kami menjadi berkobar. Begitu memasuki kamar kami langsung berguling dan saling memagut. Kang Saridjo tak merasa canggung lagi. Malahan dia yang mulai ngomong,

"Isepan Aden tadi siang bener-bener hebat, Den. Saya belum pernah merasakan kenikmatan macam itu. Rasanya pengin lagi, nih"
"Jangan kewatir Kang, aku juga belum pernah nemu pejuh kentel macam kamu punya. Rasanya macam dawet, bisa di seruput dan di gigit-gigit. Pejuhmu gurih banget Kang. Boleh kasih lagi, dong"
"Pokoknya, Den, apa yang Aden mau saya boleh kasihkan untuk Aden"
"Bener, nih..."

Terus terang memang aku yang lebih 'jemput bola' dari pada Kang Saridjo. Dia akan ngikut saja apa yang kumau. Kami langsung menelanjangi diri masing-masing. Kang Saridjo rebah telentang di kasurku. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa didepanku kini ada tubuh kuli kecoklat hitaman yang gempal, keker, penuh bulu yang siap aku menikmatinya.

Kami masih saling melumat. Tanganku terkadang gemas meremasi bagian daging-daging punggung atau lengan atau paha atau betisnya. Sungguh tampilan Kang Saridjo benar-benar membakar nafsu libidoku. Rasanya aku mau menelan seluruh tubuhnya. Kalau dibanding ukuran tubuhnya, aku yang 168 cm, 62 kg dibanding dengan Kang Sarijo yang mungkin 170 cm dengan beratnya yang hampir 80 kg. Sungguh aku sedang berhadapan dengan raksasa berbulu. Kucemoli pahanya. Kang Saridjo meringis sambil melumat-lumat bibirku. Duh.... Pedihnya bibir ini..

Tiba-tiba dia berhenti. Matanya menutup. Dia mengeluarkan bisikkan serak menahan gelora...

"Terserah Aden, dah.. Saya ngikut..."

Nampaknya dia ingin mengulangi kenikmatan yang dia dapat siang tadi. Aku sangat bernafsu. Kuamati sesaat tubuh raksasa itu sebelum kuangkat kedua lengannya ke atas kepalanya. Kini kusaksikan lembah gempal ketiaknya yang lebat berbulu. Aku mulai melata, menciumi dari tulang iganya naik menuju ke ketiaknya. Aku lakukan dengan sepenuh gairah nafsuku. Dengan penuh merasakan mili demi mili lidahku melata.

Bau tubuh berbulu itu mengiringi dan mendorong rangsangan libidoku tanpa batas. Lidahku terus menjilat untuk menyapu rasa asin dari setiap pori tubuhnya. Kang Saridjo tak henti-hentinya melenguh, merintih terkadang seperti mengigau karena menanggung nikmat jilatan dan gigitanku.

Sampai pada puting-putingnya gigiku menggigit-gigit kecil yang menimbulkan gatal birahi pada dada Kang Saridjo. Tanganku terus menahan agar ketiak Kang Saridjo terbuka menunggu jamahan lidah dan bibirku. Sangat mengairahkan bila tiba saatnya hidung pada tepian ketiak itu. Aromanya yang menyergap membuat darahku mengalir cepat. Tak sabar rasanya lidah dan bibirku melumati ketiak seksi itu. Kang Saridjo baru merasakan hubungan seksual macam ini.

Bersambung . . . . . .

Kang Saridjo, Pelampiasan Syahwatku 1

Kedua orang tuaku ada urusan sama kakek-nenek di Malang. Mereka pergi untuk 3 hari. Kebetulan ada perbaikan AC di ruang tamu dan kamarku. Beberapa orang tukang sibuk melakukan perbaikan. Aku tergoda untuk memperhatikan salah satunya. Namanya Saridjo. Mungkin sekitar 40 tahunan. Nampak ototnya kasar dan gempal, mukanya penuh kumis dan jambang yang tercukur di pipi dan lehernya.

Aku terkesima. Tukang ini sangat seksi di mataku. Sungguh, Kang Saridjo, demikian aku memangilnya, sangat menawan syahwatku. Pada hari pertama mereka mulai kerja aku sempat 2 kali masturbasi. Mengkhayal.. Acchh.. Betapa nikmat kalau aku bisa menjilati tubuh gempal berotot itu.

Siang itu sambil 'surfing ke situs gay' di kamarku aku mengawasi mereka kerja.

"Permisi Den, saya mau ukur lubang di dinding untuk pasang kabel," Kang Saridjo sambil menggotong tangga lipat masuk ke kamarku.
"Silahkan, kang" Aku melihat peluang untuk ngobrol sama Saridjo. Bau badan penuh keringat langsung menyengat di kamarku.
"Dimana mau pasangnya, kang"
"Disitu Den, di atas jendela"

Duh nih orang, keringatnya ngocor dari tubuhnya yang bertelanjang dada. Nampak gumpalan-gumpalan tubuhnya semakin nyata dengan adanya keringat itu. Nampak pentilnya sebedar biji jagung hitam keras di tengah bulatan hitam pula. Aku berliur. Lidahku membasahi bibir. Ingin rasanya menjilati asin keringatnya sambil menggigiti pentil itu.

"Perlu dibantu?" pertanyaanku sambil memegangi tangganya.
"Terima kasih.."

Kini wajahku nanar menyaksikan betisnya yang coklat gelap mengkilat oleh basang keringatnya tepat di depan mukaku. Aku sungguh tak mampu menahan diriku. Betis liat penuh urat dan bulu-bulu itu sangat merangsang syahwatku. Kang Saridjo hanya bercelana kolor seperti pemain bola. Nampak betisnya menopang pahanya yang kekar dan gempal liat pula. Beberapa menit sambil mencoba menangkap bau badannya, aku sempat menggosok-gosok penisku di selangkangan. Aku ngaceng berat. Penisku menonjol mendesaki celanaku. Uch.. Gatelnya..

"Panas ya? Sudah minum belum, kang? Kalau belum boleh aku ambilin, ya..?" aku langsung bergerak mengambil minuman tanpa menungu jawabannya. Kudengar di belakangku dia menyahut, "Nggak usah, den" Tetapi aku pura-pura tak dengar. Aku harus aktip menyerang.

Es sirop dengan gelas besar kusodorkan padanya. Dia terima dan langsung di tenggaknya hingga ludas. Nampak jakunnya naik turun saat minumannya mengalir ke tenggorokannya. Lehernya yang menengadahkan kepalanya nampak kekar. Ah, betapa aku bisa menggigiti tuh otot-ototnya.

Saat dia kembalikan padaku gelas kosongnya aku bilang, "Duduk sini dulu, Bang. Istirahat sebentar. Nggak usah buru-buru. Kalau nggak selesai hari ini ya, besok nggak apa-apa. Jadinya ada yang nemenin aku di rumah ini" Kang Saridjo nampak menatap wajahku. Dia tahu aku jadi juragan selama ortu-ku tak ada di rumah. Aku duduk di kasurku dan kang Saridjo di kursi komputerku. Ah... aku lupa gambar-gambar porno di layar monitorku masing terang terpampang. Nampak cewek telanjang sedang menjilati perut lelaki hitam penuh otot.

Sesaat hendak ngobrol telpon di ruang famili terdengar berdering, aku beranjak keluar untuk mengangkatnya. Ada beberapa menit aku bertelpon dengan teman kampus. Saat aku balik ke kamar kulihat kang Sardi sedang melototi monitor pornoku. Nampaknya dia terbirahi. Aku pura-pura acuh agar dia tidak jengak dan malu.

"Seru juga nih gambar, Den?" celetuknya.
"Mau? Pengin?" tanyaku sambil tersenyum nyengir.
"Ya kalau ayu macam gini semua laki-laki pasti pengin," sahutnya.

Kulihat selangkangannya menggunung dari celana kolornya. Nampaknya dia agak malu-malu. Pasti ngaceng dia. Aku menarik kursi lain untuk duduk di sampingnya. Kuraih mouse Logitech-ku dan kudapatkan berpuluh-puluh file jpeg yang ku-kolek dari bebagai situs porno dalam pampangan ACDSee. Kang Saridjo terkaget-kaget menyaksikan adegan-adegan panas dari ACDSee ini. Tak ada omongan. Mata kang Sardi melotot, tanganku sibuk memindah-mindah gambar.

Saat ada 'shemale' Brazil yang cantik sedang nge-'blowjiob' pria hitam penuh bulu sengaja aku hentikan lebih lama. Nampak bagaimana mulut 'shemale' itu penuh oleh kepala kemaluan hitam yang batangnya penuh lingkaran otot-otot kasar.

"Edaann... enak banget rasanya kali?"
"Lhoo.. koq nih cewek punya kontol..? Banci, niihh.."

Aku masa bodo dengan omongannya karena aku lebih tertarik pada selangkangannya yang gundukkannya semakin membengkak. Aku sama sekali tak konsen lagi. Tetapi seperti biasanya aku tak memiliki keberanian untuk memulai. Yang kulakukan hanyalah mengutik-utik mouse-ku sambil mataku melotot ke arah gundukkan celana kolornya. Hatiku bergemuruh dan jantungku berdegup-degup kencang. Aku dilanda prahara syahwat nafsu birahiku. Terasa darahku naik ke wajahku dan terasa bengap.

"Kk.. Kang..." suaraku lirih tertahan. Kang Saridjo tak mendengarnya.
"Heh.. Heh..." sambil matanya tak melepaskan dari monitorku. Aku semakin nggak bisa tenang lagi.
"Pengin.. Kaanngg??" suaraku lirih.

Dia nggak dengar juga, tetapi..

"Ah, udah ach, Den. Saya jadi nggak tahan.." dia melengos ke arahku dan sepertinya tanpa sengaja menatap mataku.
"Pengin kang..?" dalam tatapan matanya tanpa sadar aku megulang pertanyaanku.

Tatapan mata Kang Saridjo nampak menahan nafsunya. Ternyata mukanya dan mukaku telah demikian berdekatan hingga kudengar nafasnya yang cepat dan ngos-ngosan. Aku memandanginya dalam penuh harap. Mataku terasa berkaca-kaca. Kang Saridjo nampak kagok dan ragu. Dia juga melirik sesaat ke arah selangkanganku yang juga menggunung.

Mungkin dia tak pernah mengenal 'seks sejenis'. Hidungku yang diterpa bau badannya mendorong mukaku lebih mendekat ke wajahnya. Nampaknya dia hendak beranjak pergi. Namun dia nggak berani bangun karena akan nampak kontolnya yang ngaceng. Aku pikir inilah saatnya agar dia tidak malu-malu. Sambil melemparkan senyuman dari wajahku yang sembab tanganku meraih gundukkan itu dan mengelusinya.

"Aachh.. Aden.. Malu khan 'ntar dilihatin teman-temanku"

Badannya terbongkok untuk menghidari rabaanku. Tetapi tanganku terus mengelusi dan kemudian meremas-remas batang panas dan keras di balik celananya. Uuhh.. Gedenya kontol Kang Saridjo ini.. Jantungku terus berpacu, mukaku semakin memerah panas karena desakkan libidoku.

"Jangan Den.. Saya tak pernah beginii.." Dia ragu, namun aku tak mendengarkannya. Remasanku terus kulakukan dengan penuh variasi hingga.
"Aacchh.. Deenn..." dia mulai melenguh. Dan nampaknya menyerah.
"Aacchh..." kontolnya terasa di tangan semakin membengkak keras.
"Enakk, Kang..?" bisikku.

Dia hanya memandangi wajahku sambil menyeringai dalam nikmat.. Aku semakin bersemangat. Merasa seperti pemangsa yang dapat buruan gede. Semakin kuamati tubuh kekar kasar Kang Sardi semakin aku terbakar nafsuku. Aku udah nekad.

Keringat Kang Saridjo yang nampak mengalir di dada legamnya yang penuh bulu sangat merangsang gelora birahiku. Tanpa kusuruh lagi tangan kiriku menyapa dalam sapuan lembut merabai basah pada dada dan bulu-bulunya itu. Jakunku naik turun, lidahku sangat ingin menjilat-jilat keringat dan bulu-bulu itu. Kang Saridjo nampak pasrah. Nampaknya dia heran akan ulahku. Namun dia menikmatinya.

"Aden suka lelaki?" aku tak perlu menjawab.

Kami kembali saling menatap lama sementara tangan-tanganku terus menggerilya. Kang Saridjo mengamati wajahku. Aku rasa dia mulai terbirahi akan wajahku yang bersih putih dan tampan. Tiba-tiba tangan kanannya yang kokoh telah meraih kepalaku dan menariknya hingga mukaku nempel ke dada basah itu.

"Denn.. Aku jadi nafsu juga. Habis tampang Aden yang cakep macam perempuan," omongnya.

Begitu mukaku nempel ke dadanya secara otomatis bibirku mencium dan menyedotnya. Keringatnya benar asin. Bibir dan lidahku mengecapinya.

"Duh.... Den.. Enak.. Bb.. Bangeett.."

Sambil tangannya yang kena badai nafsu meremas rambutku dan mendorong geser ke bagian dada yang lain. Dan aku sepertinya telah tersihir pukau. Aku ikuti saja. Bahkan dengan rakus. Aku menciumi dan menjilati dada kang Sardi. Aku menggigit kecil dan..

"Yaacchh... tt.. Tee.. Erus Dee.. Nn, enak bangett.." Suara Kang Saridjo tengadah, mendesah dan melenguh.

Tangan kiriku bergelayut pada bahunya yang gempal sementara tangan kananku terus bergerak meliar. Merambati turun ke perut, memijat dan mencemoli otot perut dan bulu-bulunya yang semakin turun semakin melebat. Kang Sardi tahu apa yang kudambakan. Dia benar-benar pasrah.

Bersambung . . . . .

Kondom Papaku 2

"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya lagi.
"Kenapa kamu menelan sperma Papa? Kamu benar-benar homo?"

Meskipun semua pertanyan yang diajukan terasa sangat memojokkanku, namun aku tak menemukan intonasi kemarahan atau pun keterkejutan dalam nada bicaranya. Papaku terdengar seolah-olah dia sudah tahu sejak lama bahwa aku gay. Tapi bagaimana mungkin? Papaku berjalan ke arahku. Saat kami telah berdiri berhadapan, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dalam-dalam, malu sekali.

"Ada apa denganmu? Papa sudah berdiri di sini dari tadi. Papa melihat bagaimana kamu menikmati noda pada celana dalam itu dan bagaimana kamu menyukai setiap tetes dari pejuh Papa. Papa juga lihat bagaimana kamu sangat menikmati masturbasimu. Kamu ngecret sangat banyak. Anakku, kalau kamu begitu menyukai sperma Papa, kamu 'kan bisa minta."
"Hah?!" Aku tak percaya mendengar ucapannya. Apa maksudnya?
"Papa sudah tahu kamu homo, tapi Papa tak berani memintamu ngeseks dengan Papa. Kamu pasti tidak tahu, tapi Papa sering mengendap masuk ke dalam kamarmu saat kamu sedang keluar. Papa suka sekali dengan semua koleksi film porno homo, majalah homo, dan juga foto-foto di komputer kamu. Semuanya merangsang. Sering Papa berfantasi bagaimana nikmatnya bersetubuh dengan anak Papa sendiri tapi Papa takut."

Pengakuan Papa sangat mengagetkanku. Dalam sekejap, bayanganku tentang Papa langsung pecah berkeping-keping.

"Tapi saat Papa tadi melihatmu asyik mencoli kontol kamu sambil meminum sperma Papa, Papa yakin bahwa kamu juga sering membayangkan Papa dalam setiap fantasi jorokmu. Benar 'kan?"
"Tapi, Pa, tadi aku lihat Papa sedang ngeseks dengan seorang wanita pelacur. Papa biseks?" tanyaku penasaran. Rasa takut dan maluku berangsur-angsur hilang.
"Wanita?" papaku tertawa kecil.
"Anakku, yang tadi Papa bawa pulang namanya Jon. Dia laki-laki tulen, seumur Papa. Dia adalah anak buah Papa di kantor. Selama bertahun-tahun, Jon telah sering melayani nafsu homoseksual Papa. Sebenarnya sudah berkali-kali Papa mengajaknya kemari, namun baru kali ini Papa tertangkap basah oleh kamu. Celana dalam yang tadi kamu jilat-jilat adalah celana dalam yang sengaja ditinggalkan Jon untuk Papa," jelasnya sambil tersenyum mesum.
"Anakku, Papa sama homonya seperti kamu. Sejak Papa ditinggal mamamu, Papa membenci wanita dan mulai menyukai sesama jenis." Penjelasan Papa membuatku tercengang. Kami hanya berdiri saling menatap selama bermenit-menit sebelum akhirnya aku merangkul papaku sambil menangis lega.
"Papa.. Saya sayang Papa.. Sudah lama saya memimpikan Papa.." Kepalaku bersandar di atas dadanya yang gempal namun padat berisi. Tanpa ragu, kuraba-raba dadanya sambil memuaskan impianku untuk memeluknya. Pelan-pelan, kontol Papa membentuk tonjolan besar di depan celana pendeknya. Dan saat itu Papa bertanya..

"Kamu masih kuat? Mau bercinta dengan Papa?"

Kutatap wajah papaku dan kutemukan nafsu birahi kembali menguasainya. Aku mengangguk-ngangguk, setuju. Tanpa basa-basi, Papa memerosotkan celana pendeknya. Ternyata Papa juga sudah tidak mengenakan celana dalam. Pepatah mengatakan, ayah dan anak sama saja. Kurasa pepatah itu benar. Kontolnya langsung melompat keluar, berdenyut-denyut dengan bangga. Rasanya hangat sekali saat kontolnya itu menempel di pahaku, beradu dengan kontolku. Perlahan, kontolku yang tadi sempat melemas, kini mulai mengeras lagi. Noda pejuh yang masih melekat pada kontolku menodai paha Papa, namun Papa tampak tak keberatan.

Papa memelukku sambil meraba-raba seluruh tubuhku. Tangannya terasa lebar dan kasar, namun aku suka. Bibirnya asyik masyuk mencium-cium wajah dan leherku. Deru napasnya terdengar jelas seperti suara mesin pesawat tempur. Kedua puting Papa yang keras melenting terasa menusuk-nusuk dadaku, membangkitkan putingku. Bibir Papa kemudian beralih ke mulutku, dan kami pun berciuman mesra sekali. Papa tampak agak terkejut melihat betapa terampilnya aku dalam membalas ciumannya. Ketika kujelaskan bahwa aku dulu pernah punya pacar homo, Papa hanya tersenyum mesum saja. Tangannya aktif meremas-remas belahan pantatku, sesekali melebar-lebarkan pantatku agar anusku tertarik.

"Hhoohh.. Papa sayang kamu.. Aahh.. Kamu anak Papa yang seksi.. Hhoohh.." desahnya.

Papa tiba-tiba menekan badanku ke bawah seraya mengisyaratkan bahwa dia ingin dihisap. Aku tak menolaknya. Aku berjongkok di depan kontolnya tanpa mengeluh. Aroma jantan langsung memancar dari kontol itu. Nampak noda-noda pejuh masih melekat pada kepala kontolnya. Aromanya sangat menusuk, mengingatkanku pada pejuh Papa yang baru saja kutelan tadi.

Mm.. Kontol Papa berdenyut-denyut dan mulai mengalirkan precum. Papa nampaknya tak sabar lagi sebab dia mulai menggerak-gerakkan kontolnya menuju mulutku. Begitu mulutku terbuka, kontolnya melesat masuk dan berdiam di sana. Mm.. Rasa pejuh bercampur precum langsung memenuhi setiap sel dari lidahku. Sungguh tak terbayangkan, aku sedang menyedot kontol yang dulu pernah menciptakanku. Jika tak ada kontol itu, aku takkan pernah ada. Oleh karena itu, aku harus melayani kontol Papa sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih, dan lagipula aku memang suka menyedot kontol Papa. Slurp! Slurp! Slurp!

Kontol itu terasa menyesakkan mulutku. Ukurannya jauh lebih besar daripada kontol mantanku. Aku harus pintar-pintar menghisap kontol itu sebab mulutku hampir kram. Lidahku bermain-main sambil mengusap-ngusap kepala kontol itu, menggodanya. Sengaja kujilat-jilat bagian bawah kepala kontolnya karena bagian itulah yang paling sensitif. Kucoba untuk memampatkan mulutku agar hisapanku menguat. Kupaksa kontol Papa untuk memberikanku lebih banyak precum. Mm.. Enak sekali. Slurp! Semakin keras kusedot kontol itu, Papa mengerang semakin keras pula.

"Hhoohh.. Hisap kontol Papa.. Aahh.. Ya, begitu.. Jilat terus.. Oohh.. Mulutmu lebih enak daripada mulut Jon.. Aahh.. Layani Papa, anakku.. Oohh.."

Papa menjambak rambutku dan memakainya sebagai pengendali kepalaku. Meski agak kesakitan, tapi aku tak keberatan karena Papa melakukannya dengan lembut.

"Hhoohh.. Hisap terus.. Aahh.."

Kedua tanganku merayap naik. Begitu kutemukan dada Papa, aku langsung meraba-rabanya. Ah, aku rindu sekali menyentuh dada itu, dada Papa yang kucintai. Putingnya mengeras di bawah rabaanku. Ketika kupelintir, papaku mengejang-ngejang sembari mengerang keenakkan.

"Hhoohh.. Yyeeaahh.. Mainin puting Papa.. Aahh.. Ayo, nak.. Buat Papa terangsang.. Hhoohh.." Precum Papa mengalir makin banyak, habis kutelan semuanya.
"Aarrgghh!!" erang Papa mendadak sambil mendorongku jauh-jauh.

Aku terkejut tapi belakangan aku baru menyadari bahwa Papa tadi hampir ngecret dan dia hanya mau agar aku berhenti menyedot kontolnya sebentar.

Papa kemudian menghampiriku. Dengan sepasang tangannya yang kuat, Papa mengangkatku dan membaringkanku di atas meja dapur. Kami memang punya sebuah meja dapur yang kokoh tepat di tengah dapur, berfungsi sebagai meja masak dan sekaligus meja makan. Dengan bernafsu, kakiku dikangkangkannya lebar-lebar. Anusku nampak berkedut-kedut menyapa papaku. Papa hanya tersenyum padaku seraya berkomentar nakal.

"Pantatmu kelihatan sempit. Pasti enak kalau Papa entoti."

Berbekal kondom yang tersimpan di celana pendeknya, Papa mempersenjatai kontolnya. Kemudian, tanpa bicara lagi, Papa langsung menusukkan kontolnya dalam-dalam.

"Aahh.." erangnya, matanya merem-melek.

Anusku yang masih sempit, mencekik kontolnya. Namun pelumas yang menempel pada kondom Papa membantu proses penetrasi sehingga kontol Papa dapat masuk seluruhnya. Blleess.. Namun Papa tak mau buang-buang waktu, dia langsung menggenjot pantatku.

"Aarrgghh.. Sakit, Pa.. Hhoohh.. Uugghh.." rintihku.

Kontol Papa memang besar sekali hingga anusku serasa sobek. Air mataku mengalir keluar, tak tahan menahan sakit. Duburku serasa terbakar dan berdarah. Namun Papa berusaha menenangkanku.

"Hhoohh.. Sakit.. Aahh.."
"Aahh.. Tahan saja.. Uugghh.. Demi Papa.. Hhoohh.. Sempit banget.. Aahh.. Kontol Papa dijepit pantatmu.. Aahh.."

Kontol Papa memang terasa sempit di dalam duburku, namun Papa malah semakin menyukainya. Dengan bernafsu sekali, Papa mengentotku. Kepala kontolnya menghajar isi pantatku tanpa ampun. Rasanya setiap organ dalam pantatku sudah dirombak ulang. Ketika kontol itu menemukan prostatku, aku mulai mengerang-ngerang karena nikmat. Prostatku memancarkan rasa nikmat yang mirip orgasme. Aku merasa senang dan tak merasa sakit lagi. Berkali-kali prostatku ditumbuk, lagi, lagi, dan lagi.

"Oohh.. Pa, enak banget.. Aahh.. Fuck me.. Oohh.. entoti anakmu, Pa.. Aahh.. Aku butuh kontol Papa.. Aarrgghh.. Ayo, Pa.. Ngentot terus.. Aahh.."

Aku mengerang-ngerang seperti pria murahan, namun aku suka melayani Papa. Papa tahu kebutuhanku, maka dari itu dia menggenggam kontolku dan langsung mengocok-ngocoknya. Dari deru napas kami, kami akan segera ngecret.

"Aarrgghh.. Pa, aku mau.. Aahh.. Kkeluar.." erangku.

Aku sungguh tak kuat lagi. Prostatku dihajar terus-menerus oleh kontol Papa sementara kontolku dikocok terus oleh tangan Papa. Orgasmeku sungguh tak dapat dicegah. Seiring dnegan membanjirnya precumku, aku ngecret! Kontolku berdenyut-denyut dengan ganas, menyemburkan lahar putih ke mana-mana. Semburannya begitu kuatnya sehingga mengenai dada Papa. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!!

"Oohh.. Semprotkan pejuhmu.. Oohh.. Yyeeaahh.. Biar Papa lihat.. Hhoohh.."

Papa menyemangatiku sambil terus menyodok-nyodok pantatku. Tapi rupanya orgasmeku justru memicu orgasmenya sebab bibir anusku berkontraksi hebat ketika orgasmeku terjadi. Papa menggeram seperti banteng, perutnya berkontraksi. Seiring dengan erangan panjangnya, kontol Papa mulai mengisi pantatku dengan spermanya. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!!

"Hhoohh!! Hhoosshh!! Aahh!!" lenguhnya.

Setiap kali kontolnya menembakkan sperma, tubuhnya akan terguncang. Dada gempalnya ikut terguncang-guncang, seksi sekali. Ccrroott!! Sebagian sperma meleleh keluar dari pantatku.

Lalu Papa memeluk tubuhku saat semuanya telah usai. Dia membisikkan bahwa betapa dia mencintai dan menyayangiku. Kubalas dengan sebuah ciuman mesra di pipinya.

"Aku sayang Papa," bisikku.

Kondom Papaku 1

Sepanjang aku dapat mengingat, sejak kecil aku sudah hidup dengan papaku. Aku tak pernah merasa kehilangan seorang mama karena papaku dapat memastikan bahwa semua kebutuhanku, baik jasmani maupun rohani, tercukupi. Kini saya sudah berusia 20 tahun. Kata teman-teman kuliahku, saya lumayan cakep. Tapi tak ada yang tahu bahwa saya gay. Saya haus akan kasih sayang seorang pria. Saya tak tahu mengapa saya bisa tumbuh menjadi seorang gay, mungkin karena dulu saya terlalu dekat dengan papaku. Entahlah, tapi yang pasti, sejak masa puber, aku sering memikirkan papaku. Seringkali, aku sengaja menunggunya mandi hanya untuk dapat menyaksikannya keluar sambil bertelanjang dada.

Papaku memang bukan model ataupun atlit, dia hanyalah seorang pria biasa. Usianya kini hampir mencapai 50 tahun. Karena sering bepergian keluar, kulit tangan dan wajahnya gelap. Namun dada, perut, dan punggungnya putih bersih. Dada papaku lebar dan berisi, sedikit berlemak, namun tetap nampak seksi. Perutnya tidak buncit tapi jelas terlihat berlemak. Papaku memang tidak memiliki tubuh seksi ala bintang porno homoseksual, tapi aku sangat menyukainya.

Papa tak pernah tahu bahwa anak satu-satunya adalah seorang homoseksual. Dia tak pernah mengacak-ngacak kamarku, maka dari itu semua barang-barang pornoku yang berbau homo aman. Di bawah ranjangku tergeletak bertumpuk-tumpuk majalah homo yang sering kupakai pada saat aku ingin bermasturbasi. Komputer di kamarku juga sarat dengan foto-foto pria macho. Tapi meskipun aku merasa bebas menjadi gay, walaupun hanya di dalam kamarku saja, aku merasa kesepian.

Aku rindu akan belaian lembut papaku. Anehnya, aku kurang tertarik dengan pemuda seusiaku. Aku lebih suka pria-pria dewasa seusia Papa. Dulu saya pernah punya pacar yang seusia denganku namun kami sudah putus karena saya tidak merasakan gairah apa-apa dengannya. Aku memang sudah bukan perjaka lagi sebab mantanku sudah pernah mengentot pantatku. Namun, aku belum pernah dientoti oleh papaku dan aku amat sangat ingin merasakannya. Tapi bagaimana caranya?

Suatu malam, aku terbangun karena mendengar desahan dan erangan dari kamar papaku. Kamar kami memang bersebelahan sehingga aku dapat mendengar dengan jelas suara-suara tadi. Kutempelkan telingaku pada dinding dan kudengar erangan papaku. Mulanya kukira papaku sedang kesakitan, namun setelah kudengar baik-baik, ternyata dia sedang berhubungan seks!

Penasaran, aku berjinjit keluar dan mengintip dari lubang kunci. Benar dugaanku. Papaku membawa pulang seseorang, tapi aku tak dapat melihatnya. Dari lubang kunci itu, aku hanya bisa melihat tubuh papaku. Papaku sedang berdiri sambil mengentot seseorang. Kubayangkan orang yang sedang bersama papaku itu pastilah seorang pelacur wanita murahan yang dipungutnya dari jalan. Dan mereka sedang asyik bercinta! Tapi aku merasa aneh sebab aku tak mendengar suara erangan wanita. Yang kudengar hanyalah suara desahan pria. Desahan nikmat papaku. Mungkinkah pelacur itu bisu?

Tak peduli siapa pun dia, aku sangat cemburu pada pelacur itu sebab aku menginginkan papaku yang bercinta denganku. Hanya denganku saja! Tiba-tiba papaku mengerang hebat. Tubuhnya kemudian berkelojotan. Semuanya terjadi dengan begitu cepat, namun aku masih sempat melihat papaku ngecret di dalam kondom. Kondom bening yang tadinya melapisi kontol ayahku, langsung terisi cairan kental putih. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berhasil mengintip kontol papaku. Lumayan panjang dan gemuk.

Aku buru-buru kembali ke kamarku dengan kontol yang ngaceng. Jam dinding menunjukkan hampir jam 1 pagi saat kudengar suara pintu depan terbuka dan tertutup. Pelacur itu rupanya sudah pergi. Diam-diam, aku berjalan keluar kamar. Aku hanya mengenakan celana pendek usang tanpa celana dalam sehingga tonjolan kontolku terlihat sangat menantang. Udara malam membuat kedua puting dadaku melancip.

Kucari papaku namun dia tak ada di mana-mana. Kamarnya juga kosong. Kuduga papaku pasti sedang mengantar wanita pelacur itu pulang. Kesempatan, pikirku. Aku langsung memeriksa kamar papaku. Mataku memeriksa setiap sudut kamarnya dengan teliti, namun barang yang kucari tak ada. Aku hanya menemukan celana dalam papaku yang masih basah belepotan precum. Kuambil saja celana dalam itu sambil bergegas menuju dapur. Semua sampah di rumah kami pasti dibuang ke dalam tong sampah yang letaknya di dapur. Mataku bersinar-sinar saat kutemukan barang yang kucari. Kondom papaku!

Sayang, sebagian spermanya sudah tumpah keluar, namun kondom itu masih mengandung sedikit sperma papaku. Untung saja tong sampah itu sudah dikosongkan dan hanya diisi dengan sampah kertas hingga aku tak perlu dipusingkan dengan bau sampah. Segera kuambil kondom itu. Hhmm.. Aroma pejuh yang tajam masuk ke dalam hidungku dan naik ke dalam otakku. Kontolku ngaceng berat dan mulai mengeluarkan precum. Berdiri di depan tong sampah, aku mulai bermasturbasi. Celana pendekku kutanggalkan dan kulempar ke pojok. Kontolku langsung kumainkan.

"Hhoohh.. Aahh.. Hhoosshh.." desahku keenakkan.

Celana dalam papaku kucium-cium. Aroma kelaki-lakiannya menusuk hidungku. Jelas tercium bau pesing dari noda kencingnya dan juga bau pejuh dari noda precumnya. Kudekatkan bagian yang ternoda oleh precum papaku dan kujilati bagian itu. Samar-samar, kurasakan rasa asin precum papaku. Mm.. Lezat sekali. Semakin kujilat, aku menjadi semakin bersemangat. Seperti anjing, aku mengais-ngais sisa noda precum tersebut dengan lidahku sampai aku puas. Kontolku sendiri sudah mengalirkan precum hingga menetes ke lantai. Kocokan tanganku kupercepat agar aku dapat segera ejakulasi.

Kurasakan spermaku mendesak-desak ingin keluar dari lubang kontolku. Namun ketika hal itu akan terjadi, aku sengaja berhenti mencoli dan kupaksa libidoku untuk turun kembali. Aku tak mau ngecret duluan sebelum aku menikmati hidangan utama. Sperma papaku!

Kondom papaku nampak indah sekali, berkilauan di bawah sinar lampu. Isinya nampak keputihan, setengah penuh dengan sperma papaku. Dengan mendongakkan kepala, kuangkat kondom itu. Pelan-pelan kumiringkan tanganku agar isi dari kondom itu mengalir keluar dan jatuh tepat di atas mulutku yang terbuka lebar. Kontolku yang tadi sudah agak melemas, kini bangun kembali. Oohh.. Kenikmatan yang kurasakan sangat berbeda dibandingkan sesi-sesi masturbasiku. Biasanya, aku hanya menggunakan foto dan video porno serta imajinasiku. Namun sekarang di tanganku tergenggam kondom papaku. Jelas aku lebih terangsang.

Bagaikan adegan lambat, kulihat sperma papaku menetes keluar dari kondom itu. Saat tetesan pertama itu menyentuh lidah, aku langung terhenyak oleh rasanya. Sebelumnya, aku belum pernah meminum sperma, baik itu spermaku sendiri maupun sperma mantanku. Maka dari itu, aku agak terkejut saat merasakan betapa nikmatnya rasa sperma. Rasa yang paling menonjol adalah asin kepahitan. Dan saat cairan itu menyentuh lidahku, aku merasa lidahku kesat licin. Pasti itu dikarenakan oleh kandungan basa yang terkandung dalam semua sperma laki-laki. Oleh karena itu, sperma terasa kesat licin jika dimainkan dengan jari.

Mm.. Tetesan kedua membuatku semakin gila dengan nafsu. Aku menjadi ketagihan. Kutuang saja langsung semuanya. Tetes demi tetes masuk ke dalam mulutku. Kutelan semuanya tanpa sisa. Mm.. Enaknya. Aku semakin mempercepat kocokanku sambil membayangkan betapa asyiknya jika papaku sedang menyodomiku.

Terbayang di hadapanku, rupa papaku saat dia sedang bertelanjang bulat. Oohh.. Rasa sperma papaku masih tersisa di mulutku. Kucoba mengingat kembali adegan tadi saat aku baru pertama kali mencicipi sperma papaku. Oh, semuanya sungguh merangsang kontolku. Birahiku bergejolak, tak terkendalikan lagi. Aku mau ngecret! Aku mengerang saat kontolku tiba-tiba melepaskan tembakan sperma. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Berkali-kali, pejuhku tersemprot keluar hingga menodai lantai. Aku terus mengerang sambil sibuk meremas kontolku. Aku sangat menyukai melihat spermaku saat menyemprot keluar. Sungguh pemandangan yang indah. Aku mendesah saat berhasil memeras tetes pejuh yang terakhir.

"Apa yang kamu lakukan?" sebuah suara mengejutkanku.

Bagai tersambar petir, aku hanya bisa berdiri tertegun dengan mata melotot kaget. Di depanku telah berdiri papaku! Rupanya tadi Papa tidak keluar rumah sebab dia kini berdiri di depanku dengan hanya mengenakan celana pendek saja. Dadanya telanjang, terekspos untuk kenikmatan mataku.

"Pp.. Paappa.." ucapku terbata-bata.

Aku merasa malu sekali, ingin rasanya bumi menelanku saja. Bayangkan saja. Aku berdiri bertelanjang bulat dengan kontol ngaceng. Dan aku tertangkap sedang menelan sperma papaku sendiri yang kucuri dari kondom bekasnya. Belum lagi, Papa pasti tadi sempat menyaksikan sesi masturbasiku. Sekujur tubuhku gemetaran, salah tingkah, malu bercampur takut. Apalagi di bawah kakiku masih teronggok celana dalam papaku. Papaku bukan orang bodoh. Dia pasti mengetahui bahwa putra satu-satunya ternyata seorang homoseks. Kontolku yang tadi ngaceng langsung menciut. Tetesan precum nampak masih menggantung di kepala kontolku.

Bersambung . . . . .

Aku Dan Kakek Broto 2

Kulihat Pak Broto tidak menampakan ekspresi apapun dan akupun menjadi semakin berani. Sesekali aku melakukan remasan lembut dan dengan nakal aku mencari puting susunya. Oh, nikmaat sekali. Dengan perlahan aku usap-usap pentil susu Pak Broto dengan ujung jariku. Terasa semakin mengeras. Aku merasakan hembusan nafas Pak Broto saat dengan nakal aku memelintir pentil itu. Dan kemudian kembali mengusapnya. Aku semakin tak kuasa menahan diri. Tanganku yang lain segera memeluk punggungnya.

"Tubuh Bapak bagus"

Tak bosan-bosan aku mengucapkan itu. Pak Broto hanya menatapku tanpa reaksi. Ku peluk tubuh itu dengan erat. Gemas sekali dengan tubuh Pakar lelaki dewasa ini. Dengan perlahan aku gigit bahunya sambil tanganku meremas dadanya. Pak Broto hanya melenguh kecil. Aku semakin berani. Ku pandangi wajahnya yang tampak sayu. Saya yakin sejak istrinya meninggal dia belum pernah melakukan hubungan sex. Kembali ku gigit bahunya. Pak Broto memejamkan matanya.

Dari balik kancing kemejanya kucoba memasukan ujung jariku. Langsung kurasakan lebatnya bulu dada disana, perlahan ku usapkan telunjuku, dan dengan berani aku copot satu kancing bajunya. Oh.. Aku sudah tak kuat lagi menahan nafsuku. Tanganku sekarang berada di dada Pakar Pak Broto. Aku seperti bermimpi bisa mengusap dan meremas dada Pakar berbulu itu.

Pak Broto kembali melenguh merasakan tindakanku. Dengan perlahan kembali ku buka kancing bajunya. Ku usap bahunya dengan lembut. Terasa hangat. Memberanikan diri ku kecup dadanya. Pak Broto ternyata tidak marah. Aku hanya mendengar dengus nafasnya semakin kencang, berkejaran dengan deru air hujan di luar sana.

Aku julurkan lidahku untuk menjilat pentil yang menantang itu. Pentil merah muda yang di kelilingi bulu membelukar. Perlahan aku usapkan lidahku di situ. Pak Broto kembali melenguh kali ini disertai cengkraman di bahuku. Kembali kujilati pentil itu, ku putar-putar lidahku disana sambil sesekali ku gigit dengan lembut. Oh nikmat sekali. Seperti anak kecil yang menemukan tetek ibunya kemudian aku hisap pentil Pak Broto dengan kuat sambil lidahku tak henti mempermainkannya. Desahan Pak Broto makin kuat.

Dan tanpa ku duga tiba-tiba Pak Broto membanting tubuhku di ranjang. Ia segera menindihku dan menyerbu bibirku dengan ciuman-ciumannya yang kasar. Aku tersentak melihat reaksinya. Sejenak aku terpana, tapi segera aku balas ciumannya. Bibirnya terasa lembut melumat bibirku dan sesekali kumisnya menusuk-nusuk pipiku. Geli sekali. Pak Broto terus menggumuliku seperti orang gila. Tapi aku merasakan sensasi yang hebat dari tindakannya. Saat ia menghisap bibirku dengan kuat aku segera menjulurkan lidahku dan ia segera melumatnya lidahnya yang basah segera menari-nari di rongga mulutku. Oh ini nikmat sekali Pak! Aku hanya bisa mencengkram punggungnya sambil meremas rambutnya.

Dengan kasar Pak Broto kemudian membuka bajuku sambil terus menciumi leherku, dan dengan ganas pula dia meremas dadaku. Aku terus menggeliat merasakan rangsangan yang hebat ini. Dan aku makin tersentak saat kurasakan lidah Pak Broto yang hangat dan basah menjilati puting susuku. Semakin kuat aku meremas rambutnya. Dan Pak Broto semakin mengila. Disedot dan digigitnya dadaku. Enath berapa tanda merah yang telah ia buat disana. Tak tahan aku segera membalikan tubuh Pak Broto sehingga Pak Broto terbanting dan kini berada di bawahku. Aku pandangi mukanya yang tampak merah karena nafsu. Sesaat kami hanya saling berpandang. Dengan lirih Pak Broto kemudian berkata.

"Maafkan Bapak, Nak. Bapak tak dapat menahan diri." Pak Broto memejamkan matanya.
"Tiga tahun Bapak tak pernah berhubungan badan lagi.. Dan Pak benar-benar tak kuat menahan rangsangan Nak Andra"

Mendengar ucapannya yang begitu lirih aku merasa tersentuh. Perlahan ku usap rambutnya yang mulai beruban. Dengan lembut ku kecup keningnya.

"Saya akan memuaskan Bapak"

Kupandangi matanya dan dengan perlahan aku mengecup matanya yang perlahan meredup. Bergeser, kucium hidungnya yang mancung, kemudian beralih ke bibirnya. Dengan lembut aku lumat bibir jantan yang di penuhi kumis itu. Pak Broto mengunakan bibirnya memberikan keleluasan pada lidahku untuk menelusuri kelembutan dan keharumannya. Kali ini Pak Broto tampak lebih bisa menahan diri.

Perlahan aku buka bajunya, Pak Broto sedikit memiringkan tubuhnya memberiku kesempatan untuk membuka bajunya yang sebenarnya sudah setengah terbuka dengan keusilanku tadi. Segera aku memeluk tubuh Pak Broto. Oh hangat sekali. Kami kembali berciuman. Tanganku terus bergerilya di atas tubuhnya dan aku merasakan tonjolan yang keras di perutku. Pak Broto kemudian menyilangkan kakinya di punggungku sementara ciuman kami semakin panas.

Kembali kutatap wajah Pak Broto, belitan kakinya mulai mengendor. Dengan lembut aku belai paha gempalnya sambil sedikit demi sedikit kulepaskan sarungnya. Kulihat Pak Broto menegadahkan wajahnya dan aku semakin senang dengan reaksinya. Belaianku semakin keatas. Aah, bulu-bulunya terasa kasar di tanganku. Sesekali dengan gemas aku remas dan cubit. Saat tanganku sampai pada kantung kasar berbulu, Pak Broto tampak tersentak. Dengan lembut aku pegang dan membelainya. Pak Broto segera mencium bibirku tak kuat menahan rangsangan yang ku berikan.

Belaianku kemudian beralih ke tugu monasnya yang benar-benar telah berdiri sempurna, besar sekali. Dengan gemas aku meremas kepalanya yang hangat dan mirip helm. Dan Pak Broto semakin keras melumat bibirku.

Ah, kontol Pak Broto mulai mengeluarkan precum. Ia benar-benar telah terangsang. Aku segera melepaskan diri dari pagutan Pak Broto. Ia tampaknya keberatan. Tapi aku hanya tersenyum melihat tatapannya. Aku segera menggeser tubuhku ke bawah sambil menyapukan lidahku di tubuh Pak Broto. Saat tiba di pusarnya aku segera menjilati sambil menusuk-nusukan lidahku di lubang pusarnya. Pak Broto langsung memberikan reaksi dengan mencengkeram kepalaku. Dan saat lidahku sampai di kontolnya desahan Pak Broto makin keras.

Dengan perlahan aku jilati helemnya dan kemudian batangnya. Terasa denyutan yang keras di sana. Kontol Pak Broto di penuhi urat-urat besar dengan batang raksasanya. Tak sabar aku segera membuka mulutku dan memasukkan jamur raksasa itu. Aku segera menyedotnya sambil memutar-mutar lidahku di kepala helmnya. Desah Pak Broto semakin kuat. Aku segera memajumundurkan kepalaku sehingga kontol Pak Broto maju mundur di dalam mulutku. Dan Pak Broto tampak nikmat sekali mengentot mulutku.

Kakinya segera memeluk tubuhku. Terasa pahanya yang gempal dan berbulu menempel di pipiku dengan ketatnya. Aku merasakan sentakan-sentakan kuat dari tubuhnya tiap mulutku menelusuri batang kontolnya. Dan cengkraman Pak Broto makin kuat begitu juga dengan desahannya yang makin memburu. Dan tak lama kemudian cengkraman itu kurasakan makin kuat disertai dengan hentakan yang kuat sehingga ujung kontolnya menyentuh kerongkonganku.

Tak lama kurasakan semburan yang kuat di mulutku. Semburan yang terus menerus. Rasa hangat menyelimuti mulutku oleh air maninya. Rasanya asin dan gurih aku segera menelannya. Tapi tak semuanya tertampung di mulutku sebagian meleleh di bibirku.

Setelah beberapa lama, semburan itu berhenti dan cengkraman Pak Broto makin mengendor. Aku segera bangkit dan memeluk tubuh Pak Broto. Pak Broto segera mencium bibirku yang belepotan spermanya kami kemudian sama-sama menikmati sperma yang tersisa di mulutku.

Setelah itu dengan kuat Pak memeluku. Ia kemudian meremas kontolku yang tak seberapa besar bila di bandingkan dengan miliknya. Aku menahan nafasku merasakan betapa lembut remasan itu. Tapi aku kemudian menarik tangannya, aku tak ingin terburu-buru karena ku tahu Pak Broto masih merasa lelah

"Kita bisa melakukannya nanti, Pak" Aku mengecup bibirnya yang dipenuhi kumis.
"Kita beristirahat dulu". Pak Broto tersenyum dan kemudian memelukku dengan hangat.

Setelah beristirahat kamipun melanjutkan permainan. Kali ini aku memasukan kontolku ke pantat kakek Broto yang di penuhi bulu. Kami melakukan itu sampai malam dan akhirnya aku pulang dengan kaki yang lunglai. Sebelum pulang kita telah membuat kesepakatan untuk bertemu lagi di saat rumah sepi. Semoga Ciput sering keluar, agar aku bisa selalu bermain sex dengan kakek broto. Tunggulah aku kakekku yang hebat!