Sore yang sangat tidak bersahabat. Aku melihat gumpalan awan hitam di
langit, berarak-arak seperti gerombolan monster yang sangat menakutkan.
Sesekali kilat juga menyambar-nyambar membuat orang harus berpikir 1000
kali untuk keluar rumah.
Aku masih bersungut-sungut di kamar,
sementara buku berserakan di mana-mana. Perasaanku, semuanya sudah di
keluarkan, tapi buku filsafat yang aku cari tak juga di temukan. Padahal
besok ada tugas, Dosennya si Funk lagi! Jadi stres sendiri.
"Aduh,
Ngilang kemana sih tuh buku!?" aku pukul kasur dengan kerasnya, kucoba
lagi untuk mengingat-ingat. Percuma! Tak ada sesuatupun yang bisa di
jadikan petunjuk.
Perlahan kurebahkan tubuhku di kasur, mencoba
menenangkan emosiku agar bisa berpikir secara jernih. Kupandangi
foto-fotoku di dinding kamar. Foto yang menunjukan keceriaanku bersama
teman-teman saat terlibat dalam kegiatan di kampus. Entah itu saat
camping, hunting foto, atau acara-acara serius lainnya (kebetulan aku
aktivis di kampus). Mataku tertumbuk pada fotoku bersama Ciput saat
menjadi panitia Ospek, wajah tengil itu.. Busyet!! Diakan yang meminjam
buku filsafat itu seminggu yang lalu. Alasan mau di fotokopi sampai
sekarang belum di balikin juga. Dasar Ciput! Brengsek!!
Bergegas
aku kembali mengenakan kaos yang tadi kulepaskan daan bergegas untuk ke
rumah Ciput. Ketika aku keluar, langit sudah benar-benar pekat,
sementara gerimis mulai turun. Kalau tidak benar-benar penting, tak akan
pernah aku keluar dalam cuaca seperti ini. Sudah tak ada payung lagi!
Untungnya rumah Ciput hanya beberapa Blok dari kosanku. Tanpa
menunda-nunda lagi aku segera berlari ke rumah Ciput selagi hujan belum
begitu deras, tapi tak ayal pakaianku basah juga.
"Kurang ajar kamu, Cipuut!" Aku benar-benar marah.
Ingin
rasanya meninju hidungnya yang bangir itu sampai pesek, atau
menekuk-nekuk tubuhnya yang atletis sampai ringsek! Ciput selalu begitu,
kalau pinjem sesuatu pasti lupa untuk di balikin. Awas kamu monyong!!
Aku terus menggerutu sambil berlari.
Tak lama sampai juga di
rumahnya. Tak sabar rasanya untuk menjitak kepala Ciput. Segera aku
mengetuk pintu. Sepi. Kucoba kuketuk lagi. Tetap tak ada suara. Sekali
lagi kucoba. Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekat. Sementara
aku sudah menggigil kedinginan.
Sesosok tubuh kemudian muncul
dari balik pintu. Deg! Sosok yang selama ini aku impikan. Tapi kenapa di
dalam rumah tubuhnya basah kuyup begitu? Aku tak bisa berkata apa-apa.
Terlihat jelas didepan mataku sosok tubuh tegap di usia senja. Dengan
pakaian basah yang makin menonjolkan bentuk tubuhnya. Benar-benar sosok
dewasa yang selama ini aku impikan. Dia tersenyum melihat aku hanya
bengong.
"Wah Nak, Andra. Saya kira siapa. Kok hujan-hujanan begini? Ayo masuk!"
"Ah enggak Pak, entar semuanya kotor. Disini aja" Aku mencoba menenangkan diri dari pesona itu.
"Ee.. Ciput eh, Saifudinnya ada Pak?"
"Wah dia sedang ke Surabaya"
Deg! Ingin rasanya saat itu juga pingsan. Ke Surabaya.. Lalu bukuku.. Tugasku.. Dosen killer itu.. Maak!!
"Ada perlu apa, Nak?" Pak Broto heran melihatku yang tiba-tiba lemas.
"Penting banget kayaknya?"
"E anu Pak.. Saya mau ngambil buku yang di pinjem Saipudin. Kebetulan besok ada tugas. Kapan dia pulang Pak?"
"Wah, mungkin besok!" Deg! Besok? Wah harus bagaimana nih?
"Sama siapa dia kesana Pak?"
"Abah dan Uminya. Kebetulan hari ini Bude-nya melahirkan." Pak Broto tersenyum kepadaku.
Sejenak di perhatikannya aku yang makin menggigil.
"Nak
Andra kayaknya kedinginan. Masuk yuk! Entar masuk angin. Kebetulan Pak
juga lagi benerin genting teras belakang yang bocor. Ayo masuk!"
"Ah enggak Pak, saya pulang aja deh!"
"Tunggu hujan reda dulu. Pak juga hampir selesai kok benerin gentingnya."
"Tapi.."
"Ayolah!" Pak Broto menarik tanganku ke dalam.
"Kamu
ganti aja pakaianmu. Karena kamar udin kayaknya terkunci kamu pakai aja
pakaian Pak. Dari pada masuk angin." Pak Broto menggelandang aku
Pakamarnya.
"Pake kaos dan sarung ini saja. Bapak tinggal dulu sebentar."
Setelah
Pak Broto pergi. Aku segera mengganti pakaianku dengan kaos dan sarung
Pak Broto. Sambil menunggu Pak Broto, iseng aku membaca majalah
pertanian yang ada di kamarnya. Tak lama Pak Broto datang. Dia hanya
mengenakan handuk. Tampaknya dia habis mandi. Tercium harumnya sabun
mandi dari tubuhnya. Dan tubuh itu.. Baru kali ini aku melihat tubuh Pak
Broto setengah telanjang. Dadanya begitu tegap dengan bulu-bulu yang
membelukar dengan pentil susunya yang terlihat kencang.. Oh ingin sekali
aku menghisap dan menggigitnya.
"Kalau habis mandi gini seger banget." Pak Broto tersenyum ke arahku.
"Nak Andra enggak mandi dulu?".
"Ah, enggak Pak. Dingin!"
Menjawab
pertanyaan yang mendadak itu aku tergagap. Pak Broto membuka lemarinya,
di ambilnya kemeja dan sarungnya yang lain. Aku pura-pura tak
melihatnya padahal detak jantungku sudah tak menentu. Setelah berpakaian
Pak Broto duduk di sampingku.
"Bapak enggak ikut ke sana?" Aku mencoba mencairkan suasana.
"Kemana?"
"Surabaya."
"Oh. Enggak. Kalau ikut semua, siapa yang jaga rumah." Pak Broto tersenyum kepadaku.
"Ya beginilah nasib orang tua, hanya jadi penunggu rumah." Pak Broto menepuk-nepuk bahuku.
"Bapak umurnya berapa sih?"
"Hampir 67, kenapa?" Aku merasakan remasan lembut di bahuku.
"Bapak belum kelihatan tua." Aku pandangi wajahnya. Pak Broto kemudian tertawa.
"Nak Andra bisa aja!"
"Bener Pak! Pak masih kelihatan ganteng kok. Gagah lagi!" Pak Broto terus tertawa mendengar kata-kataku.
Kuberanikan diri memegang pahanya yang hanya memakai sarung.
"Tubuh Bapak juga bagus!" Aku pijit-pijit pahanya.
"Rajin berolah raga ya Pak?"
"Wah itu sih kegiatan Pak sehari-hari" kembali Pak Broto meremas bahuku.
Aku
makin terangsang saja. Dan rasanya inilah kesempatan saya untuk bisa
berdua dengan Pak Broto. Saya harus bisa memanfaatkannya. Kapan lagi?
"Pak, boleh tanya sesuatu yang sifatnya pribadi?" Kucoba memberanikan diri menatap matanya yang teduh.
"Apa?"
"Dengan tubuh bapak yang masih gagah dan kuat ini kenapa bapak enggak menikah lagi?"
Aku terus memperhatikan ekspresi mukanya. Ternyata Pak Broto tidak marah, dia malah tertawa.
"Nak Andra, Nak Andra, setua ini siapa yang mau!"
"Bapak belum kelihatan tua."
Aku mengulang lagi kata-kataku. Pak Broto mengentikan tawanya, dia tersenyum.
"Orang setua saya, males mikirin kayak gituan. Malu sama cucu."
"Tapi apa Pak tidak merasa kesepian?"
"Kesepian pasti ada.."
Saat mengucapkan itu Pak Broto tersenyum, tetapi suaranya begitu lirih. Dan aku tahu kegetiran dan rasa sepi dari nadanya.
"Pak gimana sih caranya membentuk tubuh seperti ini? Saya ingin sekali punya tubuh seperti Bapak!" Aku meremas-remas pahanya.
"Ha.. Ha.. Nak Andra bisa aja"
"Bener
Pak. Di usia Pak yang seperti ini tubuh Bapak tetep terlihat gagah"
Peganganku beralih ke pangkal lengannya. Terasa keras dan kuat.
"Nih benerkan, liat sekali"
Tanganku
terus menggerayangi tubuh Pak Broto pura-pura bercanda. Dan makin lama
berdekatan dengan Pak Broto nafsuku sudah makin memuncak. Tapi aku masih
bisa menahan diri. Dan untungnya aku memakai celana dalam yang ketat
sehingga tonjolan kontolku tidak begitu terlihat.
"Apa sih rahasianya Pak?"
"Ha.. Ha.." Pak Broto terus tertawa tampaknya ia tidak curiga dengan perbuatanku.
"Mungkin karena sejak kecil saya terbiasa kerja keras" Pak Broto kembali menepuk-nepuk bahuku.
"Tubuh Nak Andra juga bagus!"
"Masak sih Pak?" Aku tersenyum nakal. Pak Broto mengangguk.
"Tapi Nak Andra harus lebih rajin olahraga lagi. Jangan terlalu sibuk dikampus!"
Kembali
kurasakan remasan di bahuku. Aku hanya tersenyum mendengar gurauannya.
Sejenak suasana sepi. Tapi tanganku terus membelai-belai pangkal
lengannya. Dengan segenap keberanian aku mencoba menyentuh dadanya.
"Para gadis pasti senang bersandar di sini"
Aku
usap-usap dadanya yang kekar. Pak Broto hanya tersenyum mendengar
ucapanku. Dadaku makin bergemuruh. Ya Tuhan aku sudah tak kuat lagi
menahan nafsuku. Aku beranikan diri menyandarkan kepalaku di bahunya,
sementara tanganku terus membelai dadanya. Kutelusuri lekuk-lekuknya
dengan segenap perasaan. Aku merasakan kekasaran bulu-bulu disana.
Bersambung . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar