Mas Tarmin tukang becak, suka mangkal di depan kos-kosanku.
Sejak aku melihat pertama, aku sudah nebak, pasti kontolnya gede.
Mulai saat itu aku nggak bisa lagi nyetop memikirkan dia dan kontolnya itu.
Aku selalu cari akal bagaimana aku bisa mendapatkan kontol itu.
Mas Tarmin.., aku pengin banget ngisepin kontolmu, mas.
Aku juga pengin njilatin bokongmu, pengin nyiumin duburmu.
Kencingin aku ya mas, berakin aku ya.. N'tar aku cebokin pakai lidahku.
Tanggung bersih deh.
Ahh, Mas Tarmin kapan aku bisa jalan sama kamu.
*****
Demikian
sebaris catatan yang aku buat di buku harianku. Aku buat dengan penuh
gelora nafsu saat mengingat Mas Tarmin. Kebetulan orangnya baik banget.
Aku sering numpang becaknya saat nganter ke halte bis menuju sekolah.
Dalam usaha mendekati dia, aku suka boros memberi upah gedean, diatas
rata-rata tarip yang dia minta. Dia senang sekali. Terkadang saat-saat
iseng, aku cari makan ke warung Tegal, kuajak sekalian untuk sama-sama
makan.
Tetapi hingga saat ini aku nggak berani mengemukakan apa
yang tersimpan jauh dalam pikiran dan hatiku. Selama ini aku cukup
menciumi kontolnya lewat khayalan-khayalanku, yang biasanya berakhir
dengan onani. Yaa, aku bisa onani di mana saja. Bahkan di dalam kelas,
saat Bu guru memberikan pelajaran. Tidak jarang, bayangan susu ibu guru,
atau leher Surti di depan bangkuku, atau bokong si Jay yang seksi
menjadi sasaran onaniku. Aku cukup memasukkan tangan kiriku ke kantong
celana, dan pelan-pelan mijit kemaluanku. Sementara khayalanku mengalir
sesuai dengan gelora birahiku.
Sabtu sore. Saat-saat besok libur
macam ini, pikiranku selalu kembali ke Mas Tarmin. Aku nengok ke
jendela. Dia nggak nampak. Barangkali lagi narik. Biar kutunggu. Aku
udah punya rencana. Aku mau minta antar dia keliling-keliling kawasan di
seputar kos-kosanku ini. Aku akan bilang 'Aku carter mas, sampai pagi.
Kuat yaa?! Aku mau santai-santai mbecak sama sampeyan. Kalau lapar atau
haus mampir warung. Sak ketemunya, warung mana saja. Setuju??!'. Aku
juga sudah siap sebungkus GG rokok kretek kesukaannya. Yahh, ini semua
untuk membuat dia senang padaku. Biar dia susah untuk menolak
keinginanku. Bahkan kalau perlu aku akan mengemis-emis untuk bisa
ngisepin kontolnya.
Aku sudah bayangkan, kalau semalam panjang
ini kami jalan bareng, pasti ada saat-saat dia pengin kencing, atau
berak atau yaahh.. apalah. Dimana pada saat seperti itu aku bisa lebih
mudah memulai ngomong menyampaikan keinginanku. Mungkin perlu kubelikan
bir. Khan kalau minum bir biasanya terus pengin kencing. Ahh, Mas
Tarmiinn, aku udah gemeter nihh..
Ehh, tiba-tiba saja dia yang
nongol, sementara aku nunggu dan gelisah melongok-longok ke jalanan.
'Malam Minggu Mas Egis (begitu panggilanku), nggak muter-muter nih?'.
Lho, lho, lho, koq kaya sudah di atur, dia yang nyamperin dan dia juga
yang buka omongan ngajak muter-muter. Jadinya aku malahan pasang aksi,
sedikit jual mahal. 'Muter-muter kemana mas? Lagian opo sampeyan kuat
kalau narik jauh-jauh. Kalau aku sih enak tinggal leyeh-leyeh di jok
becanya sambil kantuk-kantuk', begitu jawaban sok aksiku.
'Nantangin
nih, ayyoo, biar sampai pagi biar aku layanin', begitu balik dia
nantang penuh semangat sambil wajahnya semringah penuh senyum seperti
jendral yang yakin akan menang perang.
'Kalau aku mau, aku suruh
bayar berapa sam, peyan narik sampai pagi?', 'Jangan khawatir, pokoknya
dijamin saja makan minumnya beres. Eeehh, di gang Jambe ada orang
ngawinin nanggap Dang-Dut, n'tar kita mampir aja ke sono. Banyak
babu-babu pada keluar nonton. Ng'kali bisa di senggol-senggol,
asyyiikk..'. Woo, aku yang seharusnya bersorak-sorai. Aku langsung
mengkhayal, 'Kena lu mas. Biar ku emut kontolmu. Biar ku isep dan telen
tuh pejuh lu'. 'Ayyoo..!!', desaknya penuh semangat yang membuatku
langsung ber-anjak. Ngambil dompet, jaket buat malam yang dingin,
rokoknya Mas Tarmin. Tanpa ba bi Bu lagi kami keluar, aku langsung
nangkring di becaknya, dia tarik sedikit mundur untuk dia cemplak dan
mulai jalan. Pertualangan malam Minggu di mulai.
'Jangan
buru-buruu, katanya santai', aku menegornya saat dia penuh semangat
menggenjot becaknya hingga jalannya begitu kenceng. 'Bagaimana kalau
kita nongkrong dulu di warung wak Sakir, ngopi, setuju', 'Okee boss, ha
ha ha asyiikk'. Mas Tarmin melaju menuju warung wak Sakir di pengkolan
dekat halte.
Terus terang aku nggak 'concern' pada kopi atau
makanan saat ini. Aku bahagia banget bisa berdesak dengan Mas Tarmin.
Bau keringatnya yang tanpa di tutup-tutupi dengan pewangi segala
merupakan bau alami yang keluar dari tubuh Mas Tarmin. Begini rasanya
bau lelaki. Kontolku jadi ngaceng. 'Mas ini kebetulan aku nyimpen rokok,
dikasih temen, padahal aku nggak ngrokok khan, buat Mas Tarmin deh',
'Weh, weh, weh trima kasih banget Mas Egis. Sampeyan bener-bener bos
saya lho'. Begitu gembira dia menerima sebungkus rokok GG dan langsung
merangkulku, ngoyok-ojok tubuhku. Keringat dari bajunya nempel ke
bajuku. Dan ini akan terus kuendusi sepanjang malam itu.
Yang aku
menjadi deg-degan adalah saat dia merangkulku tanpa sengaja tangan
kiriku menekan selangkangannya. Aku merasa bahwa dia juga ngaceng. Aku
yakin itu. Dan bener rasanya, saat aku mau bayar makan & minuman ke
wak Sakir, Mas Tarmin berdiri dan aku melirik ke arah selangkangan itu,
woo, nampak celananya menggunung. Ada yang mendesak dari balik dalamnya.
Mas Tarmin buru-buru beranjak, mungkin malu atau kagok, khawatir
ngacengnya diperhatikan orang-orang di warung itu. Wahh, kalau bener.
Hari
udah gelap. Di daerah itu jarak antara lampu jalannya jauh-jauh. Banyak
juga yang nggak menyala. Jadinya secara umum kesannya gelap. Sementara
orang-orang sudah menyepi. Beberapa sepeda lewat, tanpa lampu. Sesekali
sepeda motor atau mobil orang yang pulang kerja. Suara bel kroncong
becaknya Mas Tarmin ini berisik. Kena legokkan jalan sedikit saja
suaranya gaduh.
'Mas Egis udah punya pacar belon? Koq perasaan
saya Mas Egis nggak pernah pacaran ya?! Di kampungnya kali ya, ada yang
nungguin'. Wah, pertanyaan macam begini yang menarik bagiku. Pertanyaan
macam ini bisa dikembangkan. Bisa jadi lantaran untuk mencapai sasaran.
Tapinya aku berlagak pilon. Aku hanya jawab, 'Hmm.., sok tau
sampeyan..', 'Nah.., benar khan..', langsung saja dia jawab balik.
'Mas
Tarmin kalo gelap-gelap gini ingat pacar ya?', tanyaku melempar jurus.
'N'tar mengkhayal lagi!', seranganku beruntun. 'Khayal apaan mas?!',
bego atawa pura-pura, 'Yaa, khayal .., mbayangkan paha mulus, susu gede
dan macam-macam.. Supaya menjadi tegang.. ha, ha, ha, ..'.
Dan
jawabannya membuat jantungku langsung berdegup keras, 'Udah hee, udah
tegang nih Mas Egis..', kudengar suara itu setengah berbisik, diselang
ngos-ngosannya nggenjot becak. Bisikkan itu rasanya mengandung tujuan.
Degup jantungku semakin tak keruan, 'Apanya yang tegang ma..mass ..?',
seakan aku menginjak gas untuk mempercepat tercapainya tujuan.
'Kontolku
ngaceng Mas Egis..', ampuunn.. 'Lihat nih', tanganku yang bersender di
jok atas diraihnya dirabakan ke selangkangannya. Tentu saja aku nggak
ngelak. Bahkan tanganku yang merasakan ada daging nonjol di selangkangan
itu langsung memijat. Bukan main, kontol ini bener-bener gede. 'Gede
banget mas!!'. Tanganku terus memijat-mijat.
'Aduh Mas Egis, enak
nih di pijat-pijat'. 'Pelan-pelan dong jalannya', pintaku dengan maksud
biar aku bisa mijat lebih lama. Bukannya dipelanin. Mas Tarmin sama
sekali menghentikan becaknya. Turun dari sadelnya, tengak-tengok ke
depan dan ke belakang, nggak ada orang, berdiri mendekat ke aku dari
arah belakang. 'Mas, aku keluarin aja yah, Mas Boy pijatin yah ..'.
'Hhee eehh..'. Mas Tarmin membuka kancing celana kemudian menarik
resluitingnya. Nampak celana dalamnya sekilas. Tangan kanannya langsung
merogoh dan mengeluarkan kontolnya. Wwwoo.., panjangnyaa, gedenyaa..
'Ayo Mas pijitin terus, enakk banget dehh..'.
Aku sendiri terus
terang langsung kelimpungan. Kontolku jadi ngaceng banget. Dan kontol
Mas Tarmin itu wuuhh, kenceng, keras, gede dan panjang. Aku langsung
meraihnya kembali. 'Wwwuu, gede banget sih mass..', sambil aku
membetulkan dudukku, memutar badan dan sedikit menarik kontol yang
kuraih itu, sepertinya aku mau melihat lebih dekat. Tapi bukan itu. Aku
sudah nggak sabar lagi. Aku ingin lebih dekat untuk membaui aroma
kontolnya itu.
Tangan kananku terus memijat-mijat dan
mengurut-urut. Mas Tarmin mendesah merinding. Dia bilang pijatanku
nikmat banget. Dia bilang udah lama kepingin dipijitin macam ini. 'Ayyoo
mass.., ennaakk bangett..'.
Kata-katanya aku tangkap seakan
hendak diperpanjang tetapi tak terucapkan. Aku yakin Mas Tarmin ingin
lebih dari pijatan. 'Maass, bb.. boleh akuu.. sun yaahh..', akhirnya
dengan sedikit serak aku membisik. Ahh, akhirnya terucap juga. Khayalan
atau lebih tepat obsesi, obsesiku berbulan-bulan terpenuhi kini. Aku
nggak lagi nunggu jawaban, langsung mengasongkan mulutku, sementara
tanganku menarik kontol itu lebih dekat lagi dan aku mencaploknya.
Langsung kukenyot.
'Waaduuhh mass Eggiiss.., amppuunn eennaakknyaa.. Wwwoo. Aaarrcchh..'.
Tidak
lama. Mas Tarmin nggak bisa menahan lagi. Dari kontolnya
muncrat-muncrat pejuhnya. Aku agak bingung dan sibuk. Rasa pejuh itu
macam kelapa muda. Cairan kental itu gurihnya bukan main. Sebagian aku
langsung minum, ini yang pertama kali aku, karena dalam khayalan telah
aku laksanakan lama sebelumnya. Dan sebagian lain ada yang nyiprat ke
pipiku, ke dagu, ada di tangan dan sebagian lain di leher kemejaku dan
tercecer ke tanah.
'Maaf mas, aku nggak bisa tahan emosi tadi.
Sungguh, sepertinya aku nafsu banget .. Uuhh.. malluu..', 'Kenapaa..,
nggak pa pa koq, aku ngerti dan aku juga jadi pengin lho begitu lihat
ini (sambil meraba kembali kontolnya) gede banget. Aku juga jadi nafsu
banget'. Aku tak hendak melepas rabaan itu. Tapi dari jauh nampak lampu
mobil bergoyang. Ada yang datang dari arah depan. Aku lepaskan yang aku
pegang. Naik ke becak. Sementara Mas Tarmin membetulkan celananya dan
kembali mendorong kemudian menggenjot becaknya. Se-akan-akan tidak ada
sesuatupun yang terjadi untuk tidak memancing kecurigaan orang. Maklum
ini merupakan perbuatan yang pertama kali diantara kami. Masih besar
rasa takutnya.
Sejak itu sepanjang jalan aku nggak nglepasin
remasan tanganku dari kontolnya. 'Pejuhku enak ya mas?, n'tar tak kasih
lagi yaa?!', begitulah macam omongan selanjutnya sepanjang jalan. 'Aku
pp.. pengin nyiumin.. ss..seluruh tubuh kamu Mas Tarmin..', suaraku
serak-serak dan tersendat menahan birahi yang semakin memuncak.
'Aku
juga mau mas, biar aku kenyotin kontol Mas Egis sampai basah kuyup.
Biar aku jilatin tuh bokongnya dan silit (dubur)nya. Boleh ya mass?!'.
Aku
tidak menyadari, tahu-tahu sudah berada di depan orang punya kawinan
itu. Suara musik dang-dut dari kaset, sementara nunggu krew 'live
show'-nya yang lagi mempersiapkan alat-alatnya. Ramai orang lalu lalang.
Di sana-sini pedagang kaki lima menggunakan kesempatan untuk menanggok
rejeki. Mungkin pedagang kagetan, yang keluar dagang karena tetangga
punya hajatan, khususnya karena adanya tontonan Dang-dut yang sangat
disenangi oleh orang-orang kampung di sekitar situ. Malam itu babu-babu
pada dandan untuk memancing jodoh. Siapa tahu ada pria yang berkenan di
hatinya untuk mengajak makan bakso atau beli es teler.
'Mas,
jangan ketempat yang ramai banget!, n'tar dilihat orang lhoo', 'Nggaakk
maass, aku malahan cari yang agak gelapan dikit. Tuuhh, di bawah pohon
sebelah kanan tuh. Dekat tukang bajigur lagi. Khan enak di-obok-obok
samil makan ubi', jawab Mas Tarmin sambil langsung menggenjpot becaknya
ke tempat itu. Aku pasrah saja. Dia pasti lebih tahu. Mungkin juga
berpengalaman.
Ternyata malam itu agak konyol. Aku dan Mas Tarmin
nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Ditempat hajatan ini orang lalu lalang
dan tak ada tempat yang sepi tanpa mencurigakan orang. Dan jam 3 pagi
kami pulang. Semangat kami udah terpukul oleh kantuk yang sangat.
Tapi
ada kelegaan yang besar. Antara Mas Tarmin dan aku telah ada saling
pengertian. Pasti ada kesempatan lain untuk menyalurkan nafsu birahi
lebih total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar