"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya lagi.
"Kenapa kamu menelan sperma Papa? Kamu benar-benar homo?"
Meskipun
semua pertanyan yang diajukan terasa sangat memojokkanku, namun aku tak
menemukan intonasi kemarahan atau pun keterkejutan dalam nada
bicaranya. Papaku terdengar seolah-olah dia sudah tahu sejak lama bahwa
aku gay. Tapi bagaimana mungkin? Papaku berjalan ke arahku. Saat kami
telah berdiri berhadapan, aku hanya bisa menundukkan kepalaku
dalam-dalam, malu sekali.
"Ada apa denganmu? Papa sudah berdiri
di sini dari tadi. Papa melihat bagaimana kamu menikmati noda pada
celana dalam itu dan bagaimana kamu menyukai setiap tetes dari pejuh
Papa. Papa juga lihat bagaimana kamu sangat menikmati masturbasimu. Kamu
ngecret sangat banyak. Anakku, kalau kamu begitu menyukai sperma Papa,
kamu 'kan bisa minta."
"Hah?!" Aku tak percaya mendengar ucapannya. Apa maksudnya?
"Papa
sudah tahu kamu homo, tapi Papa tak berani memintamu ngeseks dengan
Papa. Kamu pasti tidak tahu, tapi Papa sering mengendap masuk ke dalam
kamarmu saat kamu sedang keluar. Papa suka sekali dengan semua koleksi
film porno homo, majalah homo, dan juga foto-foto di komputer kamu.
Semuanya merangsang. Sering Papa berfantasi bagaimana nikmatnya
bersetubuh dengan anak Papa sendiri tapi Papa takut."
Pengakuan Papa sangat mengagetkanku. Dalam sekejap, bayanganku tentang Papa langsung pecah berkeping-keping.
"Tapi
saat Papa tadi melihatmu asyik mencoli kontol kamu sambil meminum
sperma Papa, Papa yakin bahwa kamu juga sering membayangkan Papa dalam
setiap fantasi jorokmu. Benar 'kan?"
"Tapi, Pa, tadi aku lihat Papa
sedang ngeseks dengan seorang wanita pelacur. Papa biseks?" tanyaku
penasaran. Rasa takut dan maluku berangsur-angsur hilang.
"Wanita?" papaku tertawa kecil.
"Anakku,
yang tadi Papa bawa pulang namanya Jon. Dia laki-laki tulen, seumur
Papa. Dia adalah anak buah Papa di kantor. Selama bertahun-tahun, Jon
telah sering melayani nafsu homoseksual Papa. Sebenarnya sudah
berkali-kali Papa mengajaknya kemari, namun baru kali ini Papa
tertangkap basah oleh kamu. Celana dalam yang tadi kamu jilat-jilat
adalah celana dalam yang sengaja ditinggalkan Jon untuk Papa," jelasnya
sambil tersenyum mesum.
"Anakku, Papa sama homonya seperti kamu.
Sejak Papa ditinggal mamamu, Papa membenci wanita dan mulai menyukai
sesama jenis." Penjelasan Papa membuatku tercengang. Kami hanya berdiri
saling menatap selama bermenit-menit sebelum akhirnya aku merangkul
papaku sambil menangis lega.
"Papa.. Saya sayang Papa.. Sudah lama
saya memimpikan Papa.." Kepalaku bersandar di atas dadanya yang gempal
namun padat berisi. Tanpa ragu, kuraba-raba dadanya sambil memuaskan
impianku untuk memeluknya. Pelan-pelan, kontol Papa membentuk tonjolan
besar di depan celana pendeknya. Dan saat itu Papa bertanya..
"Kamu masih kuat? Mau bercinta dengan Papa?"
Kutatap
wajah papaku dan kutemukan nafsu birahi kembali menguasainya. Aku
mengangguk-ngangguk, setuju. Tanpa basa-basi, Papa memerosotkan celana
pendeknya. Ternyata Papa juga sudah tidak mengenakan celana dalam.
Pepatah mengatakan, ayah dan anak sama saja. Kurasa pepatah itu benar.
Kontolnya langsung melompat keluar, berdenyut-denyut dengan bangga.
Rasanya hangat sekali saat kontolnya itu menempel di pahaku, beradu
dengan kontolku. Perlahan, kontolku yang tadi sempat melemas, kini mulai
mengeras lagi. Noda pejuh yang masih melekat pada kontolku menodai paha
Papa, namun Papa tampak tak keberatan.
Papa memelukku sambil
meraba-raba seluruh tubuhku. Tangannya terasa lebar dan kasar, namun aku
suka. Bibirnya asyik masyuk mencium-cium wajah dan leherku. Deru
napasnya terdengar jelas seperti suara mesin pesawat tempur. Kedua
puting Papa yang keras melenting terasa menusuk-nusuk dadaku,
membangkitkan putingku. Bibir Papa kemudian beralih ke mulutku, dan kami
pun berciuman mesra sekali. Papa tampak agak terkejut melihat betapa
terampilnya aku dalam membalas ciumannya. Ketika kujelaskan bahwa aku
dulu pernah punya pacar homo, Papa hanya tersenyum mesum saja. Tangannya
aktif meremas-remas belahan pantatku, sesekali melebar-lebarkan
pantatku agar anusku tertarik.
"Hhoohh.. Papa sayang kamu.. Aahh.. Kamu anak Papa yang seksi.. Hhoohh.." desahnya.
Papa
tiba-tiba menekan badanku ke bawah seraya mengisyaratkan bahwa dia
ingin dihisap. Aku tak menolaknya. Aku berjongkok di depan kontolnya
tanpa mengeluh. Aroma jantan langsung memancar dari kontol itu. Nampak
noda-noda pejuh masih melekat pada kepala kontolnya. Aromanya sangat
menusuk, mengingatkanku pada pejuh Papa yang baru saja kutelan tadi.
Mm..
Kontol Papa berdenyut-denyut dan mulai mengalirkan precum. Papa
nampaknya tak sabar lagi sebab dia mulai menggerak-gerakkan kontolnya
menuju mulutku. Begitu mulutku terbuka, kontolnya melesat masuk dan
berdiam di sana. Mm.. Rasa pejuh bercampur precum langsung memenuhi
setiap sel dari lidahku. Sungguh tak terbayangkan, aku sedang menyedot
kontol yang dulu pernah menciptakanku. Jika tak ada kontol itu, aku
takkan pernah ada. Oleh karena itu, aku harus melayani kontol Papa
sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih, dan lagipula aku memang suka
menyedot kontol Papa. Slurp! Slurp! Slurp!
Kontol itu terasa
menyesakkan mulutku. Ukurannya jauh lebih besar daripada kontol
mantanku. Aku harus pintar-pintar menghisap kontol itu sebab mulutku
hampir kram. Lidahku bermain-main sambil mengusap-ngusap kepala kontol
itu, menggodanya. Sengaja kujilat-jilat bagian bawah kepala kontolnya
karena bagian itulah yang paling sensitif. Kucoba untuk memampatkan
mulutku agar hisapanku menguat. Kupaksa kontol Papa untuk memberikanku
lebih banyak precum. Mm.. Enak sekali. Slurp! Semakin keras kusedot
kontol itu, Papa mengerang semakin keras pula.
"Hhoohh.. Hisap
kontol Papa.. Aahh.. Ya, begitu.. Jilat terus.. Oohh.. Mulutmu lebih
enak daripada mulut Jon.. Aahh.. Layani Papa, anakku.. Oohh.."
Papa
menjambak rambutku dan memakainya sebagai pengendali kepalaku. Meski
agak kesakitan, tapi aku tak keberatan karena Papa melakukannya dengan
lembut.
"Hhoohh.. Hisap terus.. Aahh.."
Kedua tanganku
merayap naik. Begitu kutemukan dada Papa, aku langsung meraba-rabanya.
Ah, aku rindu sekali menyentuh dada itu, dada Papa yang kucintai.
Putingnya mengeras di bawah rabaanku. Ketika kupelintir, papaku
mengejang-ngejang sembari mengerang keenakkan.
"Hhoohh..
Yyeeaahh.. Mainin puting Papa.. Aahh.. Ayo, nak.. Buat Papa terangsang..
Hhoohh.." Precum Papa mengalir makin banyak, habis kutelan semuanya.
"Aarrgghh!!" erang Papa mendadak sambil mendorongku jauh-jauh.
Aku
terkejut tapi belakangan aku baru menyadari bahwa Papa tadi hampir
ngecret dan dia hanya mau agar aku berhenti menyedot kontolnya sebentar.
Papa
kemudian menghampiriku. Dengan sepasang tangannya yang kuat, Papa
mengangkatku dan membaringkanku di atas meja dapur. Kami memang punya
sebuah meja dapur yang kokoh tepat di tengah dapur, berfungsi sebagai
meja masak dan sekaligus meja makan. Dengan bernafsu, kakiku
dikangkangkannya lebar-lebar. Anusku nampak berkedut-kedut menyapa
papaku. Papa hanya tersenyum padaku seraya berkomentar nakal.
"Pantatmu kelihatan sempit. Pasti enak kalau Papa entoti."
Berbekal
kondom yang tersimpan di celana pendeknya, Papa mempersenjatai
kontolnya. Kemudian, tanpa bicara lagi, Papa langsung menusukkan
kontolnya dalam-dalam.
"Aahh.." erangnya, matanya merem-melek.
Anusku
yang masih sempit, mencekik kontolnya. Namun pelumas yang menempel pada
kondom Papa membantu proses penetrasi sehingga kontol Papa dapat masuk
seluruhnya. Blleess.. Namun Papa tak mau buang-buang waktu, dia langsung
menggenjot pantatku.
"Aarrgghh.. Sakit, Pa.. Hhoohh.. Uugghh.." rintihku.
Kontol
Papa memang besar sekali hingga anusku serasa sobek. Air mataku
mengalir keluar, tak tahan menahan sakit. Duburku serasa terbakar dan
berdarah. Namun Papa berusaha menenangkanku.
"Hhoohh.. Sakit.. Aahh.."
"Aahh.. Tahan saja.. Uugghh.. Demi Papa.. Hhoohh.. Sempit banget.. Aahh.. Kontol Papa dijepit pantatmu.. Aahh.."
Kontol
Papa memang terasa sempit di dalam duburku, namun Papa malah semakin
menyukainya. Dengan bernafsu sekali, Papa mengentotku. Kepala kontolnya
menghajar isi pantatku tanpa ampun. Rasanya setiap organ dalam pantatku
sudah dirombak ulang. Ketika kontol itu menemukan prostatku, aku mulai
mengerang-ngerang karena nikmat. Prostatku memancarkan rasa nikmat yang
mirip orgasme. Aku merasa senang dan tak merasa sakit lagi. Berkali-kali
prostatku ditumbuk, lagi, lagi, dan lagi.
"Oohh.. Pa, enak
banget.. Aahh.. Fuck me.. Oohh.. entoti anakmu, Pa.. Aahh.. Aku butuh
kontol Papa.. Aarrgghh.. Ayo, Pa.. Ngentot terus.. Aahh.."
Aku
mengerang-ngerang seperti pria murahan, namun aku suka melayani Papa.
Papa tahu kebutuhanku, maka dari itu dia menggenggam kontolku dan
langsung mengocok-ngocoknya. Dari deru napas kami, kami akan segera
ngecret.
"Aarrgghh.. Pa, aku mau.. Aahh.. Kkeluar.." erangku.
Aku
sungguh tak kuat lagi. Prostatku dihajar terus-menerus oleh kontol Papa
sementara kontolku dikocok terus oleh tangan Papa. Orgasmeku sungguh
tak dapat dicegah. Seiring dnegan membanjirnya precumku, aku ngecret!
Kontolku berdenyut-denyut dengan ganas, menyemburkan lahar putih ke
mana-mana. Semburannya begitu kuatnya sehingga mengenai dada Papa.
Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!!
"Oohh.. Semprotkan pejuhmu.. Oohh.. Yyeeaahh.. Biar Papa lihat.. Hhoohh.."
Papa
menyemangatiku sambil terus menyodok-nyodok pantatku. Tapi rupanya
orgasmeku justru memicu orgasmenya sebab bibir anusku berkontraksi hebat
ketika orgasmeku terjadi. Papa menggeram seperti banteng, perutnya
berkontraksi. Seiring dengan erangan panjangnya, kontol Papa mulai
mengisi pantatku dengan spermanya. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!!
"Hhoohh!! Hhoosshh!! Aahh!!" lenguhnya.
Setiap
kali kontolnya menembakkan sperma, tubuhnya akan terguncang. Dada
gempalnya ikut terguncang-guncang, seksi sekali. Ccrroott!! Sebagian
sperma meleleh keluar dari pantatku.
Lalu Papa memeluk tubuhku
saat semuanya telah usai. Dia membisikkan bahwa betapa dia mencintai dan
menyayangiku. Kubalas dengan sebuah ciuman mesra di pipinya.
"Aku sayang Papa," bisikku.
no hpku 089630991342
BalasHapusKerennn pengen deh punya papa Kyk gitu jga
BalasHapusID line: putra_aldiaz