Kedua orang tuaku ada urusan sama kakek-nenek di Malang. Mereka pergi
untuk 3 hari. Kebetulan ada perbaikan AC di ruang tamu dan kamarku.
Beberapa orang tukang sibuk melakukan perbaikan. Aku tergoda untuk
memperhatikan salah satunya. Namanya Saridjo. Mungkin sekitar 40
tahunan. Nampak ototnya kasar dan gempal, mukanya penuh kumis dan
jambang yang tercukur di pipi dan lehernya.
Aku terkesima. Tukang
ini sangat seksi di mataku. Sungguh, Kang Saridjo, demikian aku
memangilnya, sangat menawan syahwatku. Pada hari pertama mereka mulai
kerja aku sempat 2 kali masturbasi. Mengkhayal.. Acchh.. Betapa nikmat
kalau aku bisa menjilati tubuh gempal berotot itu.
Siang itu sambil 'surfing ke situs gay' di kamarku aku mengawasi mereka kerja.
"Permisi Den, saya mau ukur lubang di dinding untuk pasang kabel," Kang Saridjo sambil menggotong tangga lipat masuk ke kamarku.
"Silahkan, kang" Aku melihat peluang untuk ngobrol sama Saridjo. Bau badan penuh keringat langsung menyengat di kamarku.
"Dimana mau pasangnya, kang"
"Disitu Den, di atas jendela"
Duh
nih orang, keringatnya ngocor dari tubuhnya yang bertelanjang dada.
Nampak gumpalan-gumpalan tubuhnya semakin nyata dengan adanya keringat
itu. Nampak pentilnya sebedar biji jagung hitam keras di tengah bulatan
hitam pula. Aku berliur. Lidahku membasahi bibir. Ingin rasanya
menjilati asin keringatnya sambil menggigiti pentil itu.
"Perlu dibantu?" pertanyaanku sambil memegangi tangganya.
"Terima kasih.."
Kini
wajahku nanar menyaksikan betisnya yang coklat gelap mengkilat oleh
basang keringatnya tepat di depan mukaku. Aku sungguh tak mampu menahan
diriku. Betis liat penuh urat dan bulu-bulu itu sangat merangsang
syahwatku. Kang Saridjo hanya bercelana kolor seperti pemain bola.
Nampak betisnya menopang pahanya yang kekar dan gempal liat pula.
Beberapa menit sambil mencoba menangkap bau badannya, aku sempat
menggosok-gosok penisku di selangkangan. Aku ngaceng berat. Penisku
menonjol mendesaki celanaku. Uch.. Gatelnya..
"Panas ya? Sudah
minum belum, kang? Kalau belum boleh aku ambilin, ya..?" aku langsung
bergerak mengambil minuman tanpa menungu jawabannya. Kudengar di
belakangku dia menyahut, "Nggak usah, den" Tetapi aku pura-pura tak
dengar. Aku harus aktip menyerang.
Es sirop dengan gelas besar
kusodorkan padanya. Dia terima dan langsung di tenggaknya hingga ludas.
Nampak jakunnya naik turun saat minumannya mengalir ke tenggorokannya.
Lehernya yang menengadahkan kepalanya nampak kekar. Ah, betapa aku bisa
menggigiti tuh otot-ototnya.
Saat dia kembalikan padaku gelas
kosongnya aku bilang, "Duduk sini dulu, Bang. Istirahat sebentar. Nggak
usah buru-buru. Kalau nggak selesai hari ini ya, besok nggak apa-apa.
Jadinya ada yang nemenin aku di rumah ini" Kang Saridjo nampak menatap
wajahku. Dia tahu aku jadi juragan selama ortu-ku tak ada di rumah. Aku
duduk di kasurku dan kang Saridjo di kursi komputerku. Ah... aku lupa
gambar-gambar porno di layar monitorku masing terang terpampang. Nampak
cewek telanjang sedang menjilati perut lelaki hitam penuh otot.
Sesaat
hendak ngobrol telpon di ruang famili terdengar berdering, aku beranjak
keluar untuk mengangkatnya. Ada beberapa menit aku bertelpon dengan
teman kampus. Saat aku balik ke kamar kulihat kang Sardi sedang melototi
monitor pornoku. Nampaknya dia terbirahi. Aku pura-pura acuh agar dia
tidak jengak dan malu.
"Seru juga nih gambar, Den?" celetuknya.
"Mau? Pengin?" tanyaku sambil tersenyum nyengir.
"Ya kalau ayu macam gini semua laki-laki pasti pengin," sahutnya.
Kulihat
selangkangannya menggunung dari celana kolornya. Nampaknya dia agak
malu-malu. Pasti ngaceng dia. Aku menarik kursi lain untuk duduk di
sampingnya. Kuraih mouse Logitech-ku dan kudapatkan berpuluh-puluh file
jpeg yang ku-kolek dari bebagai situs porno dalam pampangan ACDSee. Kang
Saridjo terkaget-kaget menyaksikan adegan-adegan panas dari ACDSee ini.
Tak ada omongan. Mata kang Sardi melotot, tanganku sibuk
memindah-mindah gambar.
Saat ada 'shemale' Brazil yang cantik
sedang nge-'blowjiob' pria hitam penuh bulu sengaja aku hentikan lebih
lama. Nampak bagaimana mulut 'shemale' itu penuh oleh kepala kemaluan
hitam yang batangnya penuh lingkaran otot-otot kasar.
"Edaann... enak banget rasanya kali?"
"Lhoo.. koq nih cewek punya kontol..? Banci, niihh.."
Aku
masa bodo dengan omongannya karena aku lebih tertarik pada
selangkangannya yang gundukkannya semakin membengkak. Aku sama sekali
tak konsen lagi. Tetapi seperti biasanya aku tak memiliki keberanian
untuk memulai. Yang kulakukan hanyalah mengutik-utik mouse-ku sambil
mataku melotot ke arah gundukkan celana kolornya. Hatiku bergemuruh dan
jantungku berdegup-degup kencang. Aku dilanda prahara syahwat nafsu
birahiku. Terasa darahku naik ke wajahku dan terasa bengap.
"Kk.. Kang..." suaraku lirih tertahan. Kang Saridjo tak mendengarnya.
"Heh.. Heh..." sambil matanya tak melepaskan dari monitorku. Aku semakin nggak bisa tenang lagi.
"Pengin.. Kaanngg??" suaraku lirih.
Dia nggak dengar juga, tetapi..
"Ah, udah ach, Den. Saya jadi nggak tahan.." dia melengos ke arahku dan sepertinya tanpa sengaja menatap mataku.
"Pengin kang..?" dalam tatapan matanya tanpa sadar aku megulang pertanyaanku.
Tatapan
mata Kang Saridjo nampak menahan nafsunya. Ternyata mukanya dan mukaku
telah demikian berdekatan hingga kudengar nafasnya yang cepat dan
ngos-ngosan. Aku memandanginya dalam penuh harap. Mataku terasa
berkaca-kaca. Kang Saridjo nampak kagok dan ragu. Dia juga melirik
sesaat ke arah selangkanganku yang juga menggunung.
Mungkin dia
tak pernah mengenal 'seks sejenis'. Hidungku yang diterpa bau badannya
mendorong mukaku lebih mendekat ke wajahnya. Nampaknya dia hendak
beranjak pergi. Namun dia nggak berani bangun karena akan nampak
kontolnya yang ngaceng. Aku pikir inilah saatnya agar dia tidak
malu-malu. Sambil melemparkan senyuman dari wajahku yang sembab tanganku
meraih gundukkan itu dan mengelusinya.
"Aachh.. Aden.. Malu khan 'ntar dilihatin teman-temanku"
Badannya
terbongkok untuk menghidari rabaanku. Tetapi tanganku terus mengelusi
dan kemudian meremas-remas batang panas dan keras di balik celananya.
Uuhh.. Gedenya kontol Kang Saridjo ini.. Jantungku terus berpacu, mukaku
semakin memerah panas karena desakkan libidoku.
"Jangan Den..
Saya tak pernah beginii.." Dia ragu, namun aku tak mendengarkannya.
Remasanku terus kulakukan dengan penuh variasi hingga.
"Aacchh.. Deenn..." dia mulai melenguh. Dan nampaknya menyerah.
"Aacchh..." kontolnya terasa di tangan semakin membengkak keras.
"Enakk, Kang..?" bisikku.
Dia
hanya memandangi wajahku sambil menyeringai dalam nikmat.. Aku semakin
bersemangat. Merasa seperti pemangsa yang dapat buruan gede. Semakin
kuamati tubuh kekar kasar Kang Sardi semakin aku terbakar nafsuku. Aku
udah nekad.
Keringat Kang Saridjo yang nampak mengalir di dada
legamnya yang penuh bulu sangat merangsang gelora birahiku. Tanpa
kusuruh lagi tangan kiriku menyapa dalam sapuan lembut merabai basah
pada dada dan bulu-bulunya itu. Jakunku naik turun, lidahku sangat ingin
menjilat-jilat keringat dan bulu-bulu itu. Kang Saridjo nampak pasrah.
Nampaknya dia heran akan ulahku. Namun dia menikmatinya.
"Aden suka lelaki?" aku tak perlu menjawab.
Kami
kembali saling menatap lama sementara tangan-tanganku terus
menggerilya. Kang Saridjo mengamati wajahku. Aku rasa dia mulai
terbirahi akan wajahku yang bersih putih dan tampan. Tiba-tiba tangan
kanannya yang kokoh telah meraih kepalaku dan menariknya hingga mukaku
nempel ke dada basah itu.
"Denn.. Aku jadi nafsu juga. Habis tampang Aden yang cakep macam perempuan," omongnya.
Begitu
mukaku nempel ke dadanya secara otomatis bibirku mencium dan
menyedotnya. Keringatnya benar asin. Bibir dan lidahku mengecapinya.
"Duh.... Den.. Enak.. Bb.. Bangeett.."
Sambil
tangannya yang kena badai nafsu meremas rambutku dan mendorong geser ke
bagian dada yang lain. Dan aku sepertinya telah tersihir pukau. Aku
ikuti saja. Bahkan dengan rakus. Aku menciumi dan menjilati dada kang
Sardi. Aku menggigit kecil dan..
"Yaacchh... tt.. Tee.. Erus Dee.. Nn, enak bangett.." Suara Kang Saridjo tengadah, mendesah dan melenguh.
Tangan
kiriku bergelayut pada bahunya yang gempal sementara tangan kananku
terus bergerak meliar. Merambati turun ke perut, memijat dan mencemoli
otot perut dan bulu-bulunya yang semakin turun semakin melebat. Kang
Sardi tahu apa yang kudambakan. Dia benar-benar pasrah.
Bersambung . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar